Cerita dari Kala

15.5K 2.6K 153
                                    

K a l a

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

K a l a


You Only Live Once!

Gue selalu menjadikan kata-kata itu sebagai moto hidup gue, hidup kita itu cuma sekali, bener kan?  Cuma sekali dan nggak ada yang yang tahu kapan Tuhan mengambil masa kontrak hidup kita di dunia fana ini.

Gue inget banget,  ayah pernah bilang gini,

"Kala, hidup itu memang cuma sekali.  Tapi,  kalau kamu menjalaninya dengan benar hidup sekali aja itu udah cukup, nak."

Ayah ngomong itu sambil ngusap rambut gue yang lagi nyemil jagung rebus di sofa, sebagai anak bontot gue emang deket banget sama kedua orangtua gue. Masih suka meluk lengan mama waktu mama masak di dapur, masih sering bersandar ke bahu ayah kalo kita lagi ngobrol sekeluarga di ruang keluarga. Gue punya dua abang, yang sulung namanya Bang-Sat,  eh Bang Satya maksudnya, satu lagi namanya Bang Garda. Sifat kita bertiga juga saling bertolak belakang, bang Satya yang terlalu santai dan pede, bang Garda yang serius nya kebangetan dan gue yang... Yah, kalian bakal tahu sendiri lah nanti. Buat gue,  kedua orang tua dan kedua abang gue adalah pilar utama keluarga kecil kami. Maksud gue,  keluarga Prasetyo Bagaskara bukan keluarga besar Bagaskara. 

Empat pilar yang sangat kokoh,  empat pilar yang selalu gue bisa jadikan sandaran. Sampai akhirnya satu pilar tempat gue bersandar hancur, gue ngerasa hidup gue bener-bener kosong. Beberapa hari sejak kepergian ayah yang tiba-tiba gue memilih mengurung diri di kamar, gue nggak nangis. Sumpah. Gue sedih, tapi gue nggak bisa ngeluarin air mata, gue nggak bisa nangis. Seolah gue menolak kenyataan kalau ayah udah pergi ninggalin kami,kenapa harus ayah?  Kenapa disaat gue masih ngerasa belum bisa jadi anak yang bisa ayah banggakan. Gue masih punya banyak dosa sama ayah, gue ngerasa bersalah sering bohong sama ayah untuk hal-hal kecil yang sebenarnya ayah tahu kalau gue berbohong. Tapi ayah nggak marah,  ayah cuma bilang,

Itu pilihanmu, kamu tahu itu salah tapi kamu melakukannya juga.  Kamu bisa memilih untuk nggak melakukannya tapi kamu lebih memilih sesuatu yang salah. Ayah nggak marah kok sama kamu.

Iya, gue tahu ayah nggak marah waktu itu. Cuma, gue malu sama diri gue sendiri. Kata-kata ayah seakan menampar gue.  Gue yang waktu itu masih remaja dan belum bisa memahami seratus persen mana yang baik dan benar. 

Dari ayah gue belajar banyak hal, gue belajar bahwa memberi pada orang lain meskipun itu hal kecil bagi kita bisa jadi sangat besar untuk orang lain. Berawal dari melihat ayah yang sering mengundang anak yatim dan jalanan untuk makan bersama gue jadi menerapkannya sendiri ketika gue beranjak dewasa, yah belum sedewasa bang Satya sama bang Garda, sih.  Setiap hari  sepulang ngampus gue selalu nyempetin diri buat nyamperin anak-anak jalanan yang sering ngamen di sekitaran flyover deket kampus gue.  Sekedar berbincang, berbagi makanan dengan mereka,  hal-hal sederhana itu membuat gue merasa bahagia.  Membuat hidup gue yang cuma sekali ini jadi merasa berarti.

Seperti yang ayah katakan, kalau kita menjalani hidup dengan benar hidup sekali aja itu udah cukup.

Selamat, yah. Ayah sudah menjalani hidup dengan benar Kala yakin ayah akan bahagia di atas sana.  Sekarang, giliran Kala yang harus menjalani hidup Kala dengan benar.

Karena hidup itu cuma sekali, kan, yah? 

The Bagaskara's : Nebula ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang