"Langit, ibu kamu ada di depan."
Langit yang waktu itu sedang melipat pakaiannya bangun dengan segera, matanya berbinar, ini adalah waktu yang dia nanti-nantikan. Bertemu dengan orang tua kandungnya.
Bersama ibu panti, Langit berjalan dengan cepat ke depan. Tetapi keduanya tidak menemukan siapapun di sana, kosong. Hanya mereka berdua.
"Mana, Bu?" Langit berjalan ke depan, mencari di sekitaran barangkali ibunya sedang melihat-lihat sekeliling. Tapi tidak ada, dia hanya melihat beberapa anak panti yang sedang melakukan aktifitas di luar.
"Ibu...juga nggak tahu, Ngit." ibu panti jadi tidak enak hati, padahal dia sudah meminta wanita itu untuk menunggu sementara dia memanggilkan Langit. "Langit, ibu kamu menitipkan ini tadi."
Langit mengambil amplop cokelat dari tangan ibu panti, membuka nya dan menemukan ada amplop surat berwarna putih dengan alamat tertulis di depan amplopnya, juga selembar foto lama. Wajah sepasang pria dan wanita asing yang tak dia kenal.
"Wanita ini yang tadi mengaku sebagai ibu kamu, Ngit." ibu panti menunjuk pada wanita yang terdapat dala foto. "Ibu rasa, kamu harus pergi ke alamat ini, Langit. Mungkin kamu bisa menemukan keluarga kamu di sana."
Bu, kenapa ibu ninggalin Langit sendirian?
Bu...
Ibu...
"Langit..."
Langit membuka matanya, yang dia lihat pertama adalah mama Intan yang tersenyum penuh rasa syukur. Disusul wajah Kala dan Dylan di sisi kanan dan kirinya.
"Ini...dimana, Ma?"
"Kamu di rumah sakit sayang." Intan mengusap rambut anaknya, mengecup kening Langit penuh sayang. "Syukurlah kamu nggak apa-apa, mama khawatir banget sama kamu." Intan hampir menangis lagi, bagaimana dia tidak cemas waktu diberitahu Xavier kalau Langit dikeroyok dan masuk rumah sakit.
"Ada yg sakit nggak? Lo masih inget gue kan, Ngit?" Kala yang berdiri di kiri ranjang Langit bertanya dengan wajah khawatir, takut-takut Langit amnesia jangka pendek karena kata dokter ada sedikit benturan benda tumpul yang mengenai kepala sepupunya itu.
"Ssst! Berisik deh lo, Kal!" Dylan langsung menyemprot Kala, "ini rumah sakit bukan kebon binatang. Jangan teriak-teriak." Dylan memberi peringatan, sudah tahu Langit sedang sakit Kala malah berteriak heboh seperti itu. Dylan yang mendengar saja sudah sakit kepala.
"Gue nggak apa-apa." Langit sedikit mengulas senyum, merasa sedikit lebih baik karena menerima perhatian seperti ini.
"Gue hubungin bang Andra dulu, berisik banget dia dari tadi ngechat terus nyuruh ngasih tahu kalau lo udah bangun." Dylan pamit keluar sebentar dari kamar untuk menghubungi kakaknya.
"Gue juga, mau kasih tahu Bang Satya. Sebentar ya, tante." Kala tersenyum pada Intan seraya mengambil hp di saku jaketnya. "Diem aja lo, Bang. Kayak patung." sebelum keluar kamar, Kala menegur Xavier yang berdiri di pojok dengan kedua tangan terlipat ke dada.
Langit sendiri tidak menyadari keberadaan Xavier di sana, Xavier sendiri juga seakan tidak menampakan minat sama sekali untuk sekedar menanyakan keadaan Langit. Seakan dia di sana hanya untuk memenuhi ruangan itu saja, atau hanya sekedar mengantar Intan. Langit tidak bisa membaca pikiran Xavier, dia hanya bisa melihat kebencian di dalam tatapan Xavier yang tertuju padanya.
"Syukurlah kata dokter luka-luka kamu nggak ada yang serius, Nak. Untung teman kamu cepat datang dan nolongin kamu." Intan, mengusap rambut Langit lagi, merasa lega karena setidaknya Langit sudah baik-baik saja sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Bagaskara's : Nebula ✔
Teen Fiction[ Lokal Fiction Series ] Seperti ada kabut yang menyelimuti keluarga BAGASKARA. Kabut yang membungkus masalah yang terjadi di dalam nya dan hanya membuat orang berpikir bahwa mereka adalah keluarga yang sempurna. Tetapi, saat kabut itu perlahan...