Chapter 06

13.2K 2.4K 592
                                    

Berapa kali ya mereka bertiga nongkrong sama-sama kayak gini?

Sejak mereka memasuki salah satu coffe shop yang ada di dalam mall, Kala terus mengingat berapa kali dia, Dylan, dan Langit nongkrong bertiga kayak gini.

Ini yang ketiga kali, mungkin?

Pertama kali itu dua minggu setelah Langit masuk ke dalam rumah Bagaskara, setelah masa sulit dan mengguncang yang dialami keluarga karena kehadiran Langit yang begitu tiba-tiba. Pertamanya sih Dylan yang berinisiatif untuk ngajak Langit hang out sama mereka. Tahu kan gimana baiknya Dylan? Padahal waktu itu Kala salah satu anggota keluarga yang belum bisa menerima kehadiran Langit di keluarga Bagaskara. Jelas, lah. Bagaimana bisa tiba-tiba ada orang asing mengaku jadi anak om Satrio cuma lewat sepucuk surat dan foto. Tapi, lagi-lagi Dylan meyakinkannya untuk belajar menerima keberadaan Langit.

Kala ingat kata-kata Dylan dua tahun lalu padanya, coba lo bayangin lo diposisi Langit. Lahir, nggak tahu orang tua lo siapa, terus pas udah gede tiba-tiba dia dikasih tau kalo dia anak dari hubungan yang nggak seharusnya. Sekarang dia udah jadi bagian dari keluarga kita, udah tugas kita buat bikin dia ngerasa nyaman ada di sekitar kita.

Karena kata-kata Dylan itulah akhirnya Kala sedikit demi sedikit ingin merangkul Langit, membayangkan bagaimana jadi Langit rasanya pasti menyakitkan. Tapi, mendekati Langit nyatanya benar-benar tidak mudah. Sangat.

Langit, seperti mencerminkan namanya sendiri. Susah untuk disentuh, jauh untuk digapai bahkan oleh saudaranya sendiri.

"Lo berantem lagi, Ngit?" Dylan memulai obrolan mereka setelah ketiganya duduk dengan cup minuman masing-masing juga beberapa camilan.

"Hmm." Langit hanya bergumam singkat, menyesap espresso nya nampak canggung di antara Dylan dan Kala.

"Siapa yang menang?" Kala bertanya, matanya menunjukan rasa penasaran dan keingin tahuan.

"Gue lah." ada nada sedikit sombong dalam jawaban yang dilontarkan Langit barusan, bahkan Langit sendiri terkejut kenapa dia bisa menjawab dengan spontan seperti itu.

"Weits!" Kala, mengangkat tangannya mengisyaratkan untuk ber-high five dengan Langit yang reflek menyambutnya. "Emang, Lan, keluarga Bagaskara tuh hebat semua. Sama kayak gue." Kala mengalihkan padangan pada Dylan yang langsung merotasikan matanya jengah.

"Iya, hebat cari masalah kan maksud lo?" Dylan langsung mencondongkan badannya ke depan, menghadap Langit yang mengerutkan kening karena jaraknya dan Dylan sedikit terlalu dekat. "Nih, kalo lo mau tahu kelakuan si Kala waktu seumuran lo tuh, duh! Amit-amit!" Dylan menatap pada Kala yang malah cengengesan, meski tahu Dylan akan membicarakan melakukannya saat masih remaja dulu. "Hobinya berantem terus, nggak tahu udah berapa kali tante Arora dipanggil ke sekolah karena kelakuan dia nih." Dylan menoyor Kala kesal,mengingat bagaimana nakalnya Kala dulu saat masih SMA.

Kala tertawa-tawa, jadi ingat kelakuannya dulu. Bagaimana ibunya harus datang ke sekolah karena Kala yang kerap membuat masalah. Entah berkelahi sesama teman, bahkan ketahuan membolos. "Nih, Ngit. Gue kasih tahu ya sama lo..." Kala menepuk paha Langit sekilas, "umur-umur kayak lo gini itu kata orang masa-masa paling Indah, yang cuma bisa lo nikmatin sekali dalam seumur hidup lo." Kala  meneguk es kopinya sebelum melanjutkan.  "Jadi lakukin apa yang mau lo lakuin selagi masih muda."

"Tapi tadi pagi ada yang ngasih tahu gue kalo gue harus hati-hati karena sekarang gue bagian dari Bagaskara."

Kala tersedak,  memukul-mukul dadanya sendiri sementara Langit hanya tersenyum sinis karena sahutannya tepat sasaran.

"So what?" Dylan menimpali,  "jangan karena sekarang lo memakai nama Bagaskara lo merasa terbebani kayak gitu. Gue, Kala,  abang-abang yang lain juga pernah ngelakuin kesalahan, pernah ngelakuin kenakalan. Tapi itu semua bagian dari pendewasaan."

The Bagaskara's : Nebula ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang