Langit, menyiulkan lagu Kangen-nya Dewa 19 yang terputar dari playlist komputernya sembari membersihkan salah satu kubikel yang baru saja ditinggalkan. Hari itu tidak banyak yang datang ke warnet, mungkin karena sekarang bukan hari libur karena kebanyakan yang datang untuk main ke sana pasti anak-anak sekolah.
Langit melihat sekeliling, ruangan yang tak begitu luas itu nampak sepi. Kenapa sekarang dia merasa sedikit kesepian? Apa karena dia sudah terbiasa dengan keributan yang dibuat saudara-saudaranya? Langit jadi teringat Kala dan Dylan, dua orang itu yang paling sering membuat rumah sangat berisik. Bertengkar karena sesuatu yang remeh dan harus ditengahi oleh Satya atau Garda sesekali, Langit menghela nafas, berusaha menyadarkan dirinya bahwa dia sekarang tidak akan bisa lagi melihat itu semua. Cowok itu lantas melanjutkan aktifitasnya mengelap meja, mengambil mangkok bekas indomie dan segelas es teh manis yang tinggal seperempat untuk di bersihkan.
"Langit."
Kepalanya menegak, mendengar namanya dipanggil oleh sebuah suara yang sangat dikenalnya, juga sangat dia rindukan belakangan ini sosoknya. Langit memberanikan diri untuk menoleh ke arah sumber suara, dilihatnya Intan beserta Xavier juga Dylan dan Kala di sana. Tangannya gemetaran berusaha menaruh kembali mangkok dan gelas yang tadi dipegang nya.
"Mama." suaranya serak, kerongkongan nya terasa kering ketika memanggil sang ibu yang mendekat padanya.
Intan mendekat pada Langit, mengikis jarak di antara dirinya dengan sang anak bungsu. Hampir menangis wanita itu saat tangannya mengusap pipi Langit yang hangat, setetes air mata tak dapat dibendungnya untuk keluar tak kala ia membawa Langit dalam dekapannya. "Langit, maafin mama, ya." suara Intan bergetar di sela tangisannya, ia memeluk Langit begitu erat, mengusap punggung anaknya yang terasa jauh lebih lebar dibanding dua tahun lalu. "Maaf mama nggak tahu perasaan kamu selama ini."
Langit tidak tahu sejak kapan dia mulai menangis, apa sejak dia melihat sosok Intan berdiri di depannya? Atau saat wanita itu memeluknya begitu erat dan hangat? Langit menenggelamkan wajahnya pada ceruk leher sang ibu, tangannya balas memeluk Intan erat. Tangisnya tak terbendung dan pecah di sana bersama dengan Intan.
Ketiga pemuda yang lain hanya bisa melihat ibu dan anak yang saling berpelukan itu, Kala melirik sekilas pada Xavier yang menghela nafas dengan mata yang juga berkaca-kaca membuat Kala berinisiatif untuk mendorong punggung sepupunya itu mendekat pada Intan dan Langit. Xavier sedikit melirik kesal pada Kala yang menatapnya acuh, lantas cowok itu mendekat pada adik dan ibunya yang sedang berpelukan, tangannya ragu mengusap kepala Langit yang masih sesunggukan.
Intan melonggarkan pelukannya, menghapus jejak air mata di pipi Langit. "Kamu kok kurusan, sih? Nanti sampai rumah mama masakin makanan kesukaan kamu, ya?" Intan terus mengusap pipi Langit yang masih basah, lalu membawa nya kembali dalam pelukannya. "Kita pulang, ya, Nak. Kita pulang ke rumah." bisikinya pada Langit yang menganggukan kepala pelan dalam dekapannya.
Diam-diam, Marvin dan Gama memperhatikan pertemuan mengharukan itu dari belakang. Keduanya saling berdiri bersisian, Marvin merasa lega melihat Langit yang akhirnya dapat berkumpul lagi bersama keluarganya, serta Gama yang menyunggingkan sedikit senyum kecil yang dapat ditangkap oleh sudut mata Marvin.
"Akhirnya Langit bisa ketemu keluarganya lagi."
"Baguslah, biar gue nggak usah ngasih dia makan lagi." sahut Gama acuh.
Marvin melirik Gama,kemudian tersenyum jahil pada cowok jangkung itu. "Bukannya lo ngasih tahu sodaranya Langit karena lo juga peduli sama dia?" Marvin menyenggol-nyengol bahu Gama meledek cowok itu.
"Sok tahu lo!" Gama lantas beranjak pergi dari sana, diikuti Marvin yang mengekor di belakang.
"Eh, Gam! Tunggu dong! Traktir gue nasgor dong, nasgor yang di sana enak banget kemarin gue makan sama Langit."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Bagaskara's : Nebula ✔
Teen Fiction[ Lokal Fiction Series ] Seperti ada kabut yang menyelimuti keluarga BAGASKARA. Kabut yang membungkus masalah yang terjadi di dalam nya dan hanya membuat orang berpikir bahwa mereka adalah keluarga yang sempurna. Tetapi, saat kabut itu perlahan...