Cerita dari Langit

14.7K 2.6K 278
                                    

L a n g i t

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

L a n g i t

Langit Bagaskara,

rasanya asing, gue nggak terbiasa dengan nama keluarga yang tersemat di akhir nama depan gue.  Bahkan setelah dua tahun berlalu, gue selalu merasa itu bukan nama gue, bahkan gue ngerasa gue bukan bagian dari keluarga Bagaskara. Yang gue tahu,  sejak gue kecil dan tumbuh di panti asuhan nama gue cuma Langit.  L a n g i t,  6 huruf tanpa embel-embel nama keluarga. Semua yang ada dipanti asuhan juga begitu,  nggak ada yang punya nama keluarga. Lalu, tiba-tiba dua tahun lalu sepucuk surat diberikan ibu panti sama gue waktu itu umur gue masih lima belas. Iya, terlalu tua memang anak remaja umur segitu masih tinggal di panti asuhan. Mau bagaimana lagi?  Nggak ada yang mau nerima anak nakal kayak gue, mungkin karena itu orang tua gue membuang gue.  Kasihan lo, Ngit.  Lahir aja nggak diinginkan.

Dua tahun lalu, gue masih inget gimana ekspresi ibu panti waktu memberikan sepucuk surat dengan amplop biru itu sama gue. Ibu panti bilang surat itu di antar oleh wanita yang mengaku sebagai ibu kandung gue.  Lucu, kan?  Kalau memang itu ibu kandung gue kenapa ibu nggak mau ketemu gue?  Kenapa harus lewat surat?  Kenapa... Ibu panti bilang gue harus datang ke alamat yang ada di sampul amplop itu? 

Banyak pertanyaan dalam otak gue waktu gue menjejakkan kaki di rumah besar yang terasa asing itu,  dan saat gue masuk ke dalam rumah itu sedikit banyak pertanyaan gue mulai terjawab. Salah satunya, kenapa ibu menelantarkan gue di panti asuhan dan nggak pernah berniat untuk mengambil gue kembali.

Gue ini aib,

Anak yang nggak diinginkan.

Hasil dari merebut kebahagiaan keluarga lain. 

Keluarga, yang pada akhirnya mungkin terpaksa menerima gue dalam keluarga mereka, menyematkan nama besar Bagaskara di belakang nama gue.

Bagaskara, rasanya nama itu terlalu berat buat gue sandang.  Gue merasa nggak cocok memiliki nama keluarga terhormat seperti itu. Mungkin, mungkin.  Satu-satunya orang yang benar-benar bisa menerima keberadaan gue dengan tulus adalah wanita yang sekarang gue panggil mama.  Mama Intan, wanita yang kebahagiaannya telah di hancurkan, istri yang suaminya telah di rebut.  Bahkan sampai sekarang gue masih merasa nggak pantas memanggil beliau dengan sebutan mama. 

Mama Intan terlalu baik.

"Langit, mulai sekarang Langit tinggal di sini, ya. Langit bisa panggil tante, mama. Karena Langit juga anaknya mama."

Itu adalah kata-kata yang pernah mama Intan ucapkan sewaktu pertemuan pertama kami. Mama meluk gue erat, tapi mama nangis. Bukan nangis bahagia, gue tahu itu meski gue masih bingung sama keadaannya. Gue seakan bisa merasakan sakit di setiap isakan mama Intan yang masih meluk gue.

Gue sadar, bukan cuma mama Intan yang hatinya sakit bukan juga gue yang merasa sakit karena pada kenyataannya gue datang hanya untuk merusak kebahagiaan keluarga ini. Dua tahun lalu, gue melihat sosok pemuda yang menatap gue tajam dari sudut ruangan.  Gue nggak pernah melihat sorot mata setajam itu, menakutkan. Dia, Xavier.  Kata mama Xavier itu kakak gue, gue nggak mau percaya, nggak mau juga mengiyakan. Bukan karena gue nggak suka kalau ternyata gue bukan satu-satunya anak papa, tapi karena gue nggak mau berharap lebih untuk diterima dalam keluarga ini.  Karena gue tahu, dari sorot mata Xavier yang natap gue, itu adalah sorot mata penuh kebencian.

Nggak apa-apa, lo berhak benci sama gue. Karena gue juga benci sama diri gue sendiri.

The Bagaskara's : Nebula ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang