Chapter 22

11.8K 2.1K 339
                                    

Satya tidak bisa mengingat kapan terakhir kali dia bertengkar dengan Garda, atau...memang selama ini mereka berdua tidak pernah bertengkar sehebat ini? Beradu argumen jelas pernah, apalagi dengan sikap Garda yang terkadang terlalu disiplin meski pada Satya, kakaknya sendiri. Tapi jelas tidak sampai harus berhenti bicara seperti yang terjadi pada mereka satu minggu belakangan ini.

Sejak pembicaraan terakhir mereka di rumah oma sejak saat itu baik Satya dan Garda seperti enggan melihat satu sama lain, enggan menyapa apalagi berbincang seperti biasanya. Garda hanya akan makan bersama, sedikit bicara dengan Andra kemudian pamit lagi ke kamarnya dengan alasan mengecek pekerjaan.

Apa harus mereka berdua bersikap seperti ini?  Umur mereka bukanlah umur anak remaja yang menyelesaikan masalah dengan saling mendiami satu sama lain. Mereka berdua laki-laki dewasa, apapun masalah keduanya seharusnya bisa mereka selesaikan dengan cara yang dewasa. Tapi itu semua hanya bisa Satya pikirkan sendiri dalam kepalanya tanpa bisa dia jalankan, nyatanya, dia tidak bisa meraih Garda lebih dulu.

Ini semua terjadi karena keserakahan oma,  kalo aja oma nggak mengungkit lagi soal status Garda, semuanya nggak akan kayak gini! 

Satya ingat, saat pertama kali dia tahu siapa Garda sebenarnya. Ingatan itu terasa masih segar dipikirannya seperti baru kemarin terjadi. Tangisan mama dan Garda, ayah yang memeluk mereka berempat.

Saat itu mereka baru saja merayakan ulang tahun Garda yang ketujuh belas, usia yang kata orang adalah pintu gerbang menuju kedewasaan,  dan itu adalah salah satu alasan kenapa malam itu selepas makan malam bersama ayah memintanya juga Garda untuk duduk berempat bersama mama di meja makan. Tanpa Kala. Satya masih ingat bagaimana seriusnya wajah sang ayah saat itu, Satya tak pernah melihat ekspresi itu dari ayahnya sebelum ini. Dimata Satya, ayahnya adalah sosok yang selalu tenang dan bisa mengatasi situasi sesulit apapun. Lalu mamanya, kenapa mata mamanya merah seperti itu?  Kenapa mama juga terlihat sedih?  Saat itu Satya pikir ada sesuatu yang salah di sini, ada sesuatu yang jelas tidak ia dan Garda ketahui.

"Sekarang umur kamu tujuh belas tahun, Da. Ayah pikir, sudah saatnya kamu tahu kebenarannya." saat itu Setyo duduk persis di sebelah Garda, meremas bahu anak tengahnya yang menatap balik padanya dengan tatapan bingung.

"Mas..." sungguh,  Arora benar-benar tidak tega harus mengatakan kebenaran ini pada Garda. Baginya, dia sudah menganggap Garda sebagai anak kandungnya sendiri. Bukan anak orang lain yang diambil untuk menggantikan posisi anak kandungnya yang sudah meninggal. Dia menyayangi Garda dengan tulus, jadi apa harus mereka membuka rahasia ini?  Apalagi keduanya sudah berjanji pada Anita bahwa ini akan menjadi rahasia mereka bertiga selamanya.

"Garda berhak tahu, Arora. Aku nggak mau keluarga kita dibangun atas dasar kebohongan." Setyo menjawab, meski hatinya juga sakit harus membuka rahasia ini. Tapi seperti yang dia katakan, dia tidak ingin keluarganya dibangun atas dasar suatu kebohongan.  Apalagi kebohongan itu menyangkut kehidupan seorang anak yang sudah dia anggap sebagai anak kandungnya sendiri. "Garda, kamu...sebenarnya bukan anak kandung ayah dan mama."

Satya ingat saat itu tangis mamanya langsung pecah, dia sendiri berusaha untuk mengerti apa yang sebenarnya terjadi di sini. Apa ayahnya sedang bersandiwara?  Apa mereka hanya mengerjai Garda karena ini ulang tahunnya?  Tapi, bukankah itu sangat kejam?  Mengatakan kalau Garda bukan anak kandung orang tua mereka.

"Dengerin ayah, ayah akan ceritakan semuanya sama kamu. Sama kamu juga Satya."

Setelahnya,  Satya mendengarkan dalam diam. Apa yang terjadi tujuh belas tahun yang lalu pada malam itu. Satya tak sadar kalau dia juga menitikan air mata walau hanya sedikit, matanya menatap Garda yang terlihat linglung. 

The Bagaskara's : Nebula ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang