Chapter 24

10.9K 2.1K 479
                                    

"Hati-hati, ya..."

Dylan berucap sembari mengusap rambut anak-anak yang menyalami tangannya juga Langit.

"Jangan ke lampu merah lagi, langsung balik ke rumah." Cowok itu mengingatkan sekali lagi yang disahuti dengan kompak oleh anak-anak jalanan yang baru saja ia dan Langit temui.

Lantas kedua cowok itu duduk beralaskan kardus bekas, menyilangkan kedua kaki mereka masing-masing sambil melihat delapan anak yang baru saja menyeberang jalan.

Setelah Dylan tanpa sengaja bertemu dengan Langit yang baru saja keluar dari sebuah restoran dengan wajah kacau, bahkan Dylan sempat berpikir kalau adik sepupunya itu hampir menangis...atau sudah? Dylan tidak tahu alasannya kenapa, dia bahkan tidak bisa mempercayai matanya saat melihat Langit yang seperti ini, dan Dylan tak ingin menanyakan lebih jauh kalau Langit tidak ingin menceritakan kepadanya dan sepertinya memang tidak akan bercerita.

Jadi, Dylan yang saat itu memang akan pergi bertemu dengan teman-teman kecilnya berinisiatif untuk mengajak Langit ikut serta. Dylan setengah menyeret Langit menuju ke sebuah jembatan layang dekat lampu merah, bertemu dengan anak-anak jalanan yang suka ngamen atau berjualan di sekitar sana.

Bagi Langit, itu adalah pengalaman pertamanya bercengkrama dengan anak-anak jalanan itu. Total ada delapan anak di sana, berusia antara sembilan sampai empat belas tahun. Beberapa yang beruntung masih bisa bersekolah sampai jenjang SMP sementara yang lainnya harus putus sekolah karena alasan tidak punya biaya dan memilih untuk bekerja di jalanan agar tidak menyusahkan orang tua, miris.

Bagaimana anak semuda mereka sudah harus bekerja di jalanan di saat mereka seharusnya bisa mengecap pendidikan atau bermain dengan teman sebaya. Langit jadi ingat beberapa teman nya di panti asuhan, panti asuhan nya tidak terlalu besar waktu itu. Hanya diisi lima belas sampai dua puluh anak, yang masih ada di sana sampai dewasa hanya dia dan dua orang lainnya. Entah sekarang bagaimana keadaan mereka, jadi kangen, mungkin nanti Langit harus berkunjung ke sana, atau menetap kembali? Entah.

"Heh!"

Langit terperanjat karena Dylan yang menyenggol  bahunya dengan sikut.

"Bengong aja! Kesambet setan jembatan baru tau rasa!" Ledek cowok bermata kecil itu yang sedari tadi memperhatikan Langit yang diam, bengong.

Langit hanya tersenyum sekilas, mencungkili tanah dengan paku yang berada di dekat sepatunya, "Kalian sering kayak gini, ya?" Sebelumnya, Langit sering mendengar dari Andra kalau Dylan dan Kala punya banyak teman anak jalanan, sering juga ngajarin mereka di waktu senggang. Kadang bawa beberapa kardus isinya buku dan baju untuk teman-teman kecil mereka itu. Baru kali ini Langit melihatnya secara langsung, dan ternyata itu sangat menyenangkan. Langit menikmati nya.

"Yah..." Dylan mengangguk-angguk pelan, "dulu sih biasanya gue sama Kala sebulan tiga kali ngunjungin anak-anak, ngajarin mereka mulai dari belajar baca tulis sampe ngajarin bahasa Inggris dasar." Dylan menjelaskan.

"Hebat."

Dylan terkekeh pelan sambil menggeleng, "Enggak lah, biasa aja. Udah seharusnya kita yang bisa dapet pendidikan lebih baik dari mereka berbagi ilmu sama yang membutuhkan. Biar nanti walaupun mereka nggak bisa sekolah yang tinggi mereka nggak di bego begoin." Katanya.

Salah satu yang membuat Langit salut pada keenam bersaudara itu adalah rasa empati mereka terhadap orang lain, bagaimana mereka mau berbagi sesuatu pada sesama dan menolong siapa saja tanpa pamrih dan itu semua mereka lakukan dengan tulus tanpa alasan mereka melakukannya karena ingin dipandang tinggi karena menyandang nama keluarga yang besar.

"Tadinya si Kala pengen ikut juga," Dylan melanjutkan, "tapi biasalah pak ketua itu sibuk terus sama theaternya." Dylan tertawa pelan, "kalo gue kan sekarang pengangguran, gabut juga di rumah terus. Bisa stress lama-lama."

The Bagaskara's : Nebula ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang