"Lo nggak percaya sama gue, Bang?"
Andra meremas stir mobilnya kuat.
"Abang denger sendiri kan tadi hasil tes urine gue negatif!"
Dylan benar, tes urine Dylan memang menunjukan kalau adiknya itu negatif menggunakan narkoba.
"Gue nggak ngelakuin itu, Bang!"
Tapi hal itu tetap saja tidak memberi jawaban kenapa barang haram itu sampai ada di dalam tas milik Dylan. Bahkan setelah 5 jam pemeriksaan Dylan di kantor polisi, Dylan tetap bersikukuh bahwa dia tidak tahu menahu kenapa benda itu ada di dalam tas nya. Juga menolak tuduhan kalau dia terlibat dalam perdagangan narkotika.
"Kita pulang dulu sekarang." Andra akhirnya bersuara, menyalakan mesin mobilnya dengan tangan yang masih gemetar.
"Bang..."
Andra menghela nafas, memberanikan diri menatap Dylan pada akhirnya setelah dari tadi dia berusaha untuk menghindari kontak mata dengan adiknya itu.
"Kita pulang dulu aja sekarang."
Andra benar-benar tidak bisa berpikir dengan jernih sekarang.
***
Dylan benci dihadapkan pada situasi seperti ini, merasa dipojokan, merasa tak ada yang mempercayainya. Merasa harus menanggung semuanya sendirian kendati dia hanya butuh dorongan untuk tetap bertahan.
Saat mereka sampai di rumah, saudara-saudaranya yang lain sudah menunggu di ruang keluarga. Kala cepat-cepat mematikan televisi, Garda menutup laptopnya, bahkan Xavier dan Satya yang sedang berkutat di dapur langsung menghampiri Dylan dan Andra yang baru tiba.
"Apa yang sebenernya terjadi?"
Dylan sudah bersiap dengan serentetan pertanyaan yang tertuju padanya. Sudah siap dengan berbagai praduga yang akan diarahkan kepadanya.
"Lan, itu enggak bener kan?" Kala langsung menghampiri sepupunya, meremas pundak Dylan pelan. Jelas cowok itu menjadi salah satu pihak yang paling terkejut saat mendengar berita kalau Dylan dibawa ke kantor polisi siang itu, ditambah lagi teman-temannya yang menanyakan kebenaran kalau Dylan memang seorang pemakai dan pengedar narkoba.
"Menurut lo?" Dylan balik bertanya, sebenarnya dia sudah enggan berkomentar. Kenapa mereka terus menekan Dylan untuk mengatakan yang sebenarnya? Apa mereka tidak bisa hanya mempercayai dia saja tanpa menuntutnya untuk mengatakan sesuatu yang tak ingin dia katakan?
"Pasti ini ada salah paham kan, Lan." Kala meremas bahu Dylan lebih kuat. "Lo nggak mungkin kayak gitu!" remasannya berubah jadi guncangan di bahu Dylan. "Jawab dong! Jangan diem aja! Kasih tahu kita apa yang sebenernya terjadi!" Kala mendesak Dylan dengan gusar, tidak mengerti kenapa Dylan tidak mau menceritakan yang sebenarnya. Apa yang sesungguhnya sedang ditutupi oleh sepupunya itu.
"Bisa nggak, kalian nggak usah desak gue buat cerita?" Dylan akhirnya buka suara, menatap keenam saudaranya satu persatu. "Cukup percaya sama gue aja." Dylan benar-benar lelah hari ini, dia hanya ingin segera berbaring di ranjangnya.
"Jelasin sama abang gimana kita bisa percaya sama kamu." Andra yang sedari tadi diam menahan pening di kepalanya lantas berucap, menarik lengan Dylan hingga adiknya itu berhadapan dengannya. "Gimana kita bisa percaya sama kamu kalo kamu sendiri nggak mau bilang yang sebenarnya?!" Andra berteriak, marah. Kemarahannya meledak sudah di hadapan Dylan.
Mereka jarang sekali melihat Andra semarah ini, bahkan hampir tidak pernah melihat nya marah apalagi pada Dylan. Tapi mereka bisa mengerti kenapa Andra bersikap seperti ini, kasus yang menimpa Dylan bukan kasus kecil. Ini menyangkut nama baik keluarga mereka juga, terlebih lagi ini menyangkut masa depan Dylan. Sesuatu yang tidak bisa Andra sepelekan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Bagaskara's : Nebula ✔
Teen Fiction[ Lokal Fiction Series ] Seperti ada kabut yang menyelimuti keluarga BAGASKARA. Kabut yang membungkus masalah yang terjadi di dalam nya dan hanya membuat orang berpikir bahwa mereka adalah keluarga yang sempurna. Tetapi, saat kabut itu perlahan...