Badai itu sepertinya masih betah menghampiri keluarga mereka, pemberitaan itu nyatanya bukan hanya berimbas pada Dylan saja. Mulai dari Satya yang jadi bahan pergunjingan guru dan murid-muridnya, bahkan pada Garda yang harus memutar otak untuk mempertahankan klien yang ada agar tidak mundur dari proyek mereka.
Minggu sore itu, Dylan untuk kedua kalinya kembali menerima surat perintah dari kepolisian untuk menjalani serangkaian pemeriksaan yang terkait dengan kasusnya di kantor polisi. Sontak saja hal ini membuat saudara-saudaranya yang lain dilanda kecemasan, mereka dapat melihat ketakutan dalam raut wajah Dylan. Namun bagi Kala dan Langit, raut wajah itu menyiratkan ketakutan agar kalau-kalau Dylan tidak bisa membela Gading lebih jauh. Tidak usah menanyakan kebenaran prasangka Kala dan Langit pada Dylan, kedua cowon itu yakin betul jawabannya adalah iya.
"Lan..."
Dylan yang baru saja turun dari kamarnya langsung di hadang oleh saudara-saudaranya. Cowok itu malah berusaha mengulas senyum tipis penuh kepalsuan berusaha agar para sepupunya tak terlalu mengkhawatirkannya.
"Nggak apa-apa, Bang." kata Dylan pada Satya, "gue pasti baik-baik aja, kok. Lagian ada bang Andra yang nemenin gue." Dylan mengalihkan pandang pada kakaknya yang duduk di sofa berusaha terlihat tenang. Andra harus terlihat tenang dan kuat untuk bisa menemani adiknya.
"Abang udah hubungin salah satu pengacara kenalan abang." Garda mendekat, meremas sedikit bahu Dylan yang dipeganginya. Sejak Andra bercerita apa yang terjadi di rumah utama, juga tentangnya yang tidak ingin menggunakan fasilitas keluarga untuk menyelesaikan masalah ini, Garda sudah sepenuhnya setuju dengan hal itu. Ada hal-hal yang memang harus mereka selesaikan sendiri tanpa harus membawa darimana mereka berasal, atau bagaimana latar belakang keluarga mereka. "Kamu tenang aja, kita tahu kamu nggak bersalah, Lan." katanya menguatkan Dylan.
Dylan mengangguk kecil, kembali menyunggingkan senyum lebih lebar hingga matanya yang kecil nampak menjadi segaris lurus. "Gue tahu, Bang. Makasih, ya."
Sore itu, kelima bersaudara Bagaskara menatap punggung Dylan dan Andra yang menjauh diikuti kedua polisi berseragam yang menjemput mereka.
Ada hela nafas yang terdengar berat dari Satya yang langsung mendudukan diri di sofa, Garda mengikuti kemudian duduk di sebelah kakaknya. Xavier memilih duduk di kursi piano, mengetuk kan jemarinya pada penutup piano miliknya. Tak ada satu katapun yang keluar untuk beberapa saat, sampai kemudian Langit menghembuskan nafas keras.
"Kita nggak bisa terus-terusan diem aja, kan?" Tanya Langit pada yang lain, lantas pandangannya beralih pada Kala. "Kal, anterin gue ketemu Gading. Kalo dia nggak mau dateng dengan sukarela, mending kita paksa aja sekalian."
Kala sudah bersiap untuk bangun dari sofa, dia juga sebenarnya sudah memikirkan hal itu. Satu-satunya cara untuk menolong dan membersihkan nama Dylan sudah pasti dengan mendatangkan Gading dan memaksanya untuk mengaku, Kala bersyukur Langit memiliki pemikiran yang sama dengannya.
"Tunggu...tunggu..." Satya bergerak dari sofa, bangun dan langsung berdiri ditengah-tengah adik dan juga sepupunya itu. "Kalian ngomongin apa? Siapa Gading? Apa ada hubungannya sama kasus Dylan?" Satya langsung melontarkan pertanyaan.
Kala berdecak sembari mengambil kunci motor dari nakas. "Kelamaan kalo dijelasin sekarang, Bang. Entar aja. Ayo, Ngit!" Kala mengisyaratkan Langit untuk bergegas juga.
"Tunggu, gue ikut."
Hening.
Keempat pasang mata itu melirik ke satu objek, pada Xavier yang sudah berdiri dari kursi pianonya nampak tak peduli dengan tatapan penuh rasa tidak percaya saudara-saudaranya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Bagaskara's : Nebula ✔
Teen Fiction[ Lokal Fiction Series ] Seperti ada kabut yang menyelimuti keluarga BAGASKARA. Kabut yang membungkus masalah yang terjadi di dalam nya dan hanya membuat orang berpikir bahwa mereka adalah keluarga yang sempurna. Tetapi, saat kabut itu perlahan...