Ini, bukan pertama kalinya untuk Dylan menghadapi yang namanya pindah rumah. Saat usianya delapan tahun, dia pindah dari kota Bandung ke Jakarta. Lalu usia dua puluh dia pindah ke rumah yang sekarang ditempatinya bersama dengan saudara-saudara sepupunya.
Satu hal yang membuat Dylan tidak pernah menyukai kepindahan adalah, bahwa dia harus beradaptasi lagi dengan lingkungan nya. Membuat teman baru, mengenal sifat mereka, dan Dylan tidak terlalu pandai dalam hal mencari teman.
Lalu bagaimana dia bisa bertahan di Belanda nanti tanpa mengenal siapa pun di sana? Kalau itu Kala, sudah pasti dengan cepat anak itu akan dapat membuat teman baru. Tapi ini Dylan, cowok pendiam yang kikuk dalam mencari teman.
"Dylan."
Suara ketukan di pintu serta panggilan dari kakaknya membuat Dylan mendongak menatap ke pintu kamar yang tertutup.
"Masuk aja, Bang. Enggak di kunci." sahutnya, lalu melanjutkan memasukan satu persatu baju yang sudah dia lipat rapi.
Pintu kamar Dylan terbuka, Andra masuk masih dengan pakaian kantornya. Kemeja biru langit yang lengannya di gulung se siku serta celana bahan hitam. Lelaki itu duduk di pinggiran ranjang melihat adik nya tengah membereskan pakaian untuk dimasukan ke dalam kopernya.
"Masih belum selesai nge-pack nya?" tanya Andra sambil mengambil salah satu buku yang ditumpuk di atas kasur Dylan, "kalo ada yang ketinggalan kan nanti bisa abang kirim ke sana."
"Dikit lagi kok, Bang." Dylan tersenyum menanggapi perkataan Andra.
"Maaf, ya. Abang nggak bisa ikut kamu ke Belanda, abang harus keluar kota tahu sendiri kan kalau ada urusan perusahaan yang penting Garda cuma percaya sama abang." Andra sedikit merasa bersalah pada adiknya, padahal niat awalnya dia ingin ikut dengan Dylan, sekedar melihat bagaimana lingkungan adik dan ibunya nanti tinggal, tapi dia juga tidak bisa meninggalkan kewajibannya di perusahaan sebagai tangan kanan Garda.
Dylan tertawa pelan, tawa yang membuat matanya menyipit. "Yaelah, Bang. Enggak apa-apa, kok. Gue bukan anak kecil yang harus ditemenin orang tuanya buat karya wisata sekolah." Dylan menyahut dengan leluconnya.
"Kamu yakin, bakal baik-baik aja di sana?"
"Yakin, Bang." Dylan tesenyum maklum, dia tahu meski tidak diutarakan Andra menyimpan kekhawatiran nya sendiri, "lagian, ini kesempatan buat gue untuk mulai hidup baru di sana. Mulai semuanya dari awal, sama mami."
Andra menganggukan kepala, lalu ikut tersenyum kecil. "Iya, yang terpenting kamu sama mami bisa mulai hidup baru di sana dan bahagia." Andra mengusap lengan Dylan sekilas, lalu mengambil sebuah bingkai foto yang terselip di koper Dylan. Foto keluarga mereka saat masih utuh. Ayahnya, ibunya, dia juga Dylan tersenyum di dalam foto itu. Bukan sebuah senyum palsu, melainkan senyum bahagia saat keluarga mereka masih baik-baik aja.
"Seandainya aja keluarga kita baik-baik aja, kamu sama mami nggak harus pergi jauh kayak gini." Andra mengusap pinggiran bingkai foto itu.
"Bang, gue punya permintaan."
Andra menaruh kembali foto itu di dalam koper Dylan, lalu menatap adiknya sambil tersenyum. "Apa? Kamu mau minta apa dari abang?" sudah lama rasanya Dylan tidak meminta sesuatu darinya. Dulu waktu mereka masih kecil Dylan sering sekali minta dibelikan cokelat padahal ibu mereka sudah melarang, alhasil Andra harus memberikannya diam-diam pada Dylan.
"Gue mau abang perbaiki hubungan abang sama papa."
Seketika bahu Andra terasa kaku, wajahnya berubah serius.
"Bang, gue tahu sejak perceraian papa sama mami hubungan abang sama papa jadi nggak baik. Apa yang buat abang ngejauh dari papa? Dulu hubungan abang sama papa nggak kayak gini,kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Bagaskara's : Nebula ✔
Teen Fiction[ Lokal Fiction Series ] Seperti ada kabut yang menyelimuti keluarga BAGASKARA. Kabut yang membungkus masalah yang terjadi di dalam nya dan hanya membuat orang berpikir bahwa mereka adalah keluarga yang sempurna. Tetapi, saat kabut itu perlahan...