Chapter 03

15.6K 2.3K 273
                                    

"Udah denger belum, katanya Christ sama anak-anak genknya keciduk petugas lagi."

Langit,  baru saja mendaratkan bokongnya ke kursi saat Marvin langsung menghampirinya dan duduk tepat di depannya. 

"Terus?" Langit merasa berita seperti ini tak perlu di dengarnya, buat apa juga?  Nggak ada hubungannya sama sekali dengan dia. 

"Katanya, Christ kemarin ngajakin lo, ya?" Marvin nampak penasaran,  memajukan wajahnya menatap Langit berharap dia mendapatkan jawaban yang dia mau. Tapi justru, tatapan dingin dari Langit lah yang dia dapatkan membuat Marvin memundurkan badannya sedikit menjauh.

"Vin, ngomong langsung deh ke intinya. Lo mau ngomong apa sebenernya? Nggak usah basa-basi." Langit masih menatap Marvin yang cengengesan nggak jelas yang justru membuat Langit jadi kesal.

Marvin yang tadinya diam justru malah tertawa sekarang, menertawakan kenapa dia betah berteman sama Langit yang galaknya luar biasa. Belum lagi kalau anak itu udah bikin keributan dan ulah, Marvin cuma bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan Langit yang seakan tidak peduli apapun.  Marvin jadi ingat pertemuan pertama mereka, tiga tahun lalu waktu mereka sama-sama anak baru di SMA itu.  Marvin awalnya enggan masuk sekolah di sana,  reputasinya saja jelek, pergaulannya apalagi. Tapi semenjak usaha ayahnya bangkrut Marvin tak punya pilihan lain selain berusaha membantu mengurangi beban keluarga. Alhasil, Marvin memilih masuk SMA Garuda yang biaya sekolahnya terbilang murah tanpa uang gedung. 

Hari pertama masuk,  dia kesiangan. Sial banget, karena telat naik kereta jam enam dia jadi telat hampir lima belas menit. Sudah murid baru, hari pertama langsung kena hukum pula. Hormat bendera sampai jam istirahat, untung waktu itu dia nggak sendirian. Iya, dia dihukum bareng Langit yang saat itu telat juga. Di mata Marvin berteman dengan Langit itu cukup menyenangkan, meski lebih banyak kesalnya karena Langit yang terkadang terlalu judes menanggapi obrolannya. Tapi setidaknya dia tahu, Langit tidak mengusir nya untuk pergi. Itu arti nya Langit menerima dia sebagai teman, kan?  Kalau ada yang nanya 'kok lo betah sih temenan sama gunung es kayak Langit?' maka Marvin akan menjawab dengan seulas senyum,  'Soalnya cuma gue doang yang bisa lihat sisi hangatnya si Langit.'

"Lo mau ngomong apa?" pertanyaan Langit membuat Marvin sedikit tersentak dari lamunannya. 

"Gue sebenernya nggak tahu berita ini benar atau enggak," lagi, Marvin mencondongkan tubuhnya pada Langit.  "Tapi, lo tahu kan gue ini selalu tahu apa yang terjadi di sekolah kita."

Iya, Langit tahu. Temannya itu memang selalu tahu berita yang terjadi di sekolah, apa saja yang tak diketahui anak-anak lain dan coba disembunyikan oleh para guru saja Marvin bisa tahu. Entah bagaimana caranya, dasar stalker. 

"Kebanyakan basa-basi deh lo." Langit berdecak, sudah tak tertarik melanjutkan pembicaraan dengan Marvin dia justru hendak beranjak dari kursinya kalau saja Marvin tidak menahan tangannya untuk duduk kembali.

"Sabar kenapa, sih. Intermezo dulu gitu,  jangan langsung to the point." Marvin berdecak kesal.

"Vin."

Marvin menghela nafas berat,  dasar nggak bisa diajak bercanda. "Gue denger ada yang ngehasut Christ soal penangkapan pagi ini." kata Marvin pada akhirnya memberitahu apa yang didengarnya.

"Terus?  Masalahnya dimana?"

"Masalahnya,  orang yang ngehasut Christ itu bilang kalau lo yang udah laporin penyerangan Christ sama teman-temannya pagi ini ke petugas." Marvin sedikit menggebrak meja.

Langit menaikan sebelah alisnya, menyandarkan punggung ke bangku lalu mendengus geli. "Kurang kerjaan banget gue ngadu-ngadu kayak gitu." Langit ingin tertawa, lelucon yang benar-benar tidak lucu sama sekali. Membawa-bawa namanya pula.

The Bagaskara's : Nebula ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang