"Dylan, udah tidur belom?"
Ketukan di pintu kamar serta suara berat Kala membuat Dylan yang sedang menatap layar laptopnya beralih sejenak.
"Belom, masuk aja." sahutnya, lalu melanjutkan kegiatannya. Tangannya sibuk menggeser kursor sembari menunggu loading untuk masuk ke laman pencarian.
"Lagi ngapain?" Kala yang sudah memakai piyama tidur duduk di pinggiran kasur Dylan, mengambil bantal dan memangku tangan pada dagunya. Mata bulatnya lekat memandangi si sepupu yang nampak serius di depan laptop dengan sebuah buku catatan di meja.
"Lagi nyari-nyari opsi kampus bagus di Belanda." jawab Dylan, matanya masih terpaku ke layar sesekali mencatat di notes nya tidak mempedulikan Kala yang kini sudah berbaring di kasurnya, menjadikan lengannya sebagai bantalan. Ada malam-malam dimana Kala akan mengganggunya seperti ini, mengetuk pintu kamarnya dan mengajak Dylan berbincang tentang apa saja sepanjang malam, itu terjadi kalau Kala sedang rindu ayahnya, kalau lagi kangen Kala bilang nggak mau terlalu dipikirin nanti dia malah nggak ikhlas kasihan ayahnya nanti jadi lebih baik dia mengalihkan pikirannya ke hal lain contohnya begadang bersama Dylan.
"Semangat banget yang mau mulai hidup baru di Belanda." sindir Kala.
Dylan meregangkan badannya, merasakan pegal pada punggung karena sudah hampir setengah jam duduk di depan laptop. "Bang Sapi nginep di rumah tante Intan lagi?" Dylan mengganti topik.
"Hmm." Kala mengangguk namun matanya tertuju pada langit-langit kamar Dylan.
"Gue salah ngomong ya, Kal?" tiba-tiba Dylan mengajukan pertanyaan lagi, "kayaknya sejak gue bilang kalo yang ketemu Langit di restoran itu ternyata ibu kandungnya Langit, bang Sapi jadi aneh." Dylan merasa tak enak hati, sudah tiga hari sejak mereka semua mengetahui kalau diam-diam Langit bertemu ibu kandungnya, sudah tiga hari juga Xavier pergi dari rumah dan tidak pulang, memilih untuk pulang ke rumah ibunya.
Kala memiringkan posisi tubuhnya menghadap Dylan, lengannya beralih menopang kepala, "Ya, gue ngerti sih gimana perasaannya bang Sapi." lalu Kala menghela nafas, "pasti nggak mudah buat bang Sapi ngadepin situasi ini, luka lama nya baru aja mau sembuh setelah dua tahun sekarang luka nya harus dikorek lagi." Kala tak sadar menghembuskan nafas, lalu kembali berbaring telentang. Dia dapat mengerti sedikit perasaan Xavier saat ini, kemarin juga Kala pernah merasakannya, tentang eva, dan kebenaran mengapa ia ditinggalkan. Walaupun untuk kasus Xavier jelas berbeda, yang ini lebih complex Kala juga tidak mau asal bicara takut, takut-takut malah menyinggung tanpa ia sadari.
"Dylan."
"Hmm.." Dylan yang kembali menatap layar laptopnya bergumam. Lama tak ada sahutan lagi dari Kala membuat Dylan melirik sepupunya yang sedang memejamkan mata, "Kenapa?"
"Gimana kalo Langit emang pergi sama ibu kandungnya?" Kala lantas bertanya, matanya masih Setia terpejam.
Dylan tak langsung menjawab, diambilnya hp yang ia letakan di nakas. Membuka chat berharap sesuatu yang dia tunggu beberapa hari ini datang padanya meski hasilnya masih nihil, "Kita nggak bisa berbuat apa-apa kalo gitu, itu pilihan Langit buat kembali sama keluarganya." Dylan akhirnya menjawab sambil meletakan kembali hpnya.
"Tapi kita juga keluarganya, kan?" Kala tiba-tiba membuka mata, bangun dari posisi tidurnya bersila di atas ranjang Dylan. Tidak tahu kenapa, Kala jadi kesal kalau dugaan mereka benar adanya bahwa Langit meninggalkan keluarga Bagaskara untuk bersama ibu kandungnya. "Apa dia nggak mikirin perasaan tante Intan? Perasaan kita? Apa dia nggak anggep kita ini keluarga, Lan?"
Dylan bisa melihat sorot kemarahan dan kekecewaan pada mata bulat milik Kala, dia juga berpikir hal yang sama seperti Kala. Terbesit dalam pikirannya tentang pertanyaan, apa selama ini kita nggak dianggap keluarga? Lalu kita ini dianggap apa sama Langit?
KAMU SEDANG MEMBACA
The Bagaskara's : Nebula ✔
Teen Fiction[ Lokal Fiction Series ] Seperti ada kabut yang menyelimuti keluarga BAGASKARA. Kabut yang membungkus masalah yang terjadi di dalam nya dan hanya membuat orang berpikir bahwa mereka adalah keluarga yang sempurna. Tetapi, saat kabut itu perlahan...