Chapter 23

11.4K 2.1K 572
                                    

Langit,  selalu bertanya-tanya apa sebenarnya yang Tuhan rencanakan untuk hidupnya.  Apa yang kiranya sang Pencipta inginkan dari Langit yang merasa seumur hidupnya dia tidak pernah mendapatkan keberuntungan. 

Cowok dengan kemeja flanel kotak kotak biru dipadu kaos putih polos di dalamnya serta celana jeans hitam itu memasuki salah satu restoran di daerah kasablangka, saat Langit mendorong pintu depan restoran matanya langsung tertuju pada seorang wanita yang duduk di meja yang bersisian dengan jendela lebar yang memantulkan sinar matahari sore.

Langit tak membalas lambaian tangan wanita itu padanya, anak SMA itu langsung berjalan mendekati meja dan duduk berhadapan langsung dengan wanita yang sedari tadi tersenyum sejak melihat Langit memasuki restoran.

Wanita itu, ibu kandung Langit.

Namanya Laras, Larasati nama panjangnya. Berperawakan tinggi kurus dengan  rambut panjang bergelombang, usia empat puluh tak membuat wanita itu kehilangan kecantikannya. 

Oh,  mungkin karena ini papa menyukai ibu.  Langit berpikir seperti itu.

"Ini uang yang ibu minta." Langit  menyodorkan amplop cokelat tebal pada Laras yang tengah menaruh gelas jusnya di atas meja, enggan berbasa-basi.

 Laras tersenyum simpul melihat amplop yang berada di hadapannya, "Yaampun, buru-buru banget sih. Ini kan bisa dikasih nanti." 

Langit muak melihatnya, ekspresi wanita itu jelas tak bisa menutupi rasa senangnya melihat apa yang ia inginkan ada di depannya sekarang.

"Kamu udah makan belum? Mau ibu pesenin apa?" Laras mengambil buku menu, membolak-balik halamannya. "Sop buntut mau? Atau...iga bakar?"

Ibunya sangat pandai berakting, padahal Langit tahu tawaran itu hanya basa-basi semata, pertanyaan seputar kabar Langit dan bagaimana harinya hanyalah  untuk membuat anaknya senang dan mungkin berpikir merasa masih diperhatikan lantaran bertahun-tahun Laras telantarkan.

Ya, bertahun-tahun hingga akhirnya mereka berdua bertemu kembali. Beberapa bulan yang lalu tanpa Langit sangka-sangka. 

Langit masih ingat hari itu dengan jelas, dia baru saja pulang dari sekolah agak terlambat. Ah, memang bukan agak.  Tapi sangat terlambat, lantaran harus menyusun buku-buku di perpustakaan sebagai hukuman karena dia memasukan cicak ke dalam salah satu sepatu anak kelas sebelah sehabis shalat.  Oh,  Langit sedang kambuh usilnya. 

Sore itu agak mendung, geluduk menggelegar pelan saat Langit berjalan keluar dari gerbang sekolahnya. 

"Langit."

Cowok yang dipanggil menoleh, kedua tangan yang tadinya ia masukan ke dalam saku celana dikeluarkan membentuk kepala di sisi kedua tubuh. Badannya seketika terasa kaku dengan rahang yang menegang, mulutnya bahkan tak bisa berkata-kata ketika wanita yang memanggil namanya barusan setengah berlari dan memeluknya dengan sangat erat.

Dingin, rasanya sangat dingin. Apa ini pelukan ibu yang sebenarnya?

"Langit, anak ku." bisik wanita itu lirih sambil terus memeluk dan mengusap rambut Langit yang diam membatu.

Apa lagi yang semesta inginkan darinya sekarang?

***

Sejujurnya, Langit sama sekali sudah kehilangan harapannya untuk bertemu lagi dengan wanita yang sudah melahirkannya ke dunia itu. Bahkan, agaknya Langit sedikit lupa bahwa masih ada seseorang di luar sana yang seharusnya dia panggil sebagai ibu dan wanita itu muncul di hadapannya setelah sekian lama. Tujuh belas tahun. Bukan waktu yang singkat untuk Langit memendam rindu yang dia juga tidak tahu akan disampaikan pada siapa, Langit hanya sesekali diam-diam memerhatikan foto usang yang dibawanya dua tahun lalu pada keluarga Bagaskara sebagai pembuktian bahwa ia adalah bagian dari keluarga itu. 

The Bagaskara's : Nebula ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang