"Wah, pasti ada manipulasi, nih!"
Acara makan siang Langit yang semula dipikir tenang berubah jadi berisik ketika Marvin yang duduk di sebelahnya protes setelah melihat hasil nilai matematika yang baru saja dibagikan oleh guru kelas mereka.
"Ngit, jujur sama gue." Marvin menepuk bahu Langit agak kencang membuat Langit yang tadinya hampir menyuap mie ayam nya mengurungkan diri dan menatap mangkok mie nya jengkel. "Pak Satya pasti udah kasih lo bocoran soal, kan?" tuduh cowok itu sambil mendekatkan badannya pada Langit.
Langit menyikut temannya, mendorong Marvin menjauh sebelum Langit benar-benar kehilangan selera makan. Apa hanya karena dia dapat nilai lebih bagus dari biasanya Marvin jadi seberisik ini? Ya, walaupun temannya itu dari dulu memang berisik. Tapi Langit sekarang benar-benar terganggu dengan tuduhan Marvin yang tidak-tidak tentang dirinya.
"Heh! Diem aja lo diajak ngomong! Sombong banget mentang-mentang nilai lo Bagus!"
"Berisik, Vin! Bacot banget sih!" semprot Langit yang sudah sangat jengkel lalu memasukan gorengan bakwan di depannya ke dalam mulut Marvin agar berhenti mengoceh. "Makan tuh gorengan!"
Marvin sedikit tersedak, lalu mengunyah bakwan nya susah payah. "Lagian, gue kan kaget tiba-tiba lo jadi pinter begini." Marvin mengaduk-aduk es teh manis milik Langit.
"Itu namanya usaha yang membuahkan hasil." jawab Langit lalu menyumpit lagi mie ayamnya. "Kalo lo berusaha hasilnya nggak ada yang sia-sia."
Marvin langsung menempelkan tangannya ke kening Langit, lalu disamakan suhunya dengan ketiaknya kemudian menggeleng-gelengkan kepala sembari bertopang dagu. "Gila, gue masih belum terbiasa sama Langit yang jadi anak baik-baik gini."
"Lo ngeledekin sekali lagi gue siram kuah mie ayam nih." ancam Langit sambil mengangkat mangkok mie ayamnya dengan gerakan ingin menyiram Marvin namun terhenti karena tiba-tiba saja Gama datang dan langsung duduk di hadapan mereka membuat Langit dan Marvin memandangi Gama bingung.
"Kok berenti?" Gama yang tahu dirinya dijadikan pusat perhatian kedua orang itu langsung mendongak, "lanjutin aja, gue suka nonton keributan." katanya sambil menusuk satu baso kecil dari mangkuknya.
"Ngapain lo di sini?"
"Makan."
"Ya gue juga tahu lo lagi makan, tapi ngapain makan di sini? Masih banyak meja kosong lain."
"Suka-suka gue lah mau makan dimana," sahut Gama acuh, "kalo lo nggak suka, lo aja yang pindah sana. Eh, bagi es teh manis nya, Vin." Gama langsung mengambil es teh manis di hadapan Marvin, menyeruputnya tanpa tahu bahwa itu milik Langit.
Langit menghela nafas lelah, malas meladeni ocehan Gama, cowok itu pada akhirnya membiarkan Gama makan baso satu meja dengannya juga Marvin yang juga masih belum terbiasa dengan Gama yang akhir-akhir ini menempel dengan mereka.
"Gam, nilai lo berapa?" tanya Marvin, berharap kalau Gama juga bernasib sama dengannya lagipula Gama yang tukang bolos ini mana bisa Bagus nilai nya.
"70." jawab Gama santai, menyeruput kuah baso yang terasa pedas dan membuatnya berkeringat.
Marvin menganga, hampir menjatuhkan rahangnya mendengar jawaban Gama. "Demi apa lo?" tanya tak percaya.
Gama merogoh kantong celana nya, mengeluarkan selembar kertas yang agak lecek dari kantongnya dan diberikan pada Marvin. Cowok yang duduk di hadapannya itu cepat-cepat membuk kertasnya, dan hampir tak percaya dengan penglihatannya. Nilai 70 tercetak di sana, di kertas dengan nama Gamaliel.
Marvin menundukan kepalanya hingga dahinya menyentuh meja, lalu mengacak rambutnya kesal. Pupus sudah harapannya, ternyata Gama bahkan jauh lebih baik nilainya dari pada dia.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Bagaskara's : Nebula ✔
Teen Fiction[ Lokal Fiction Series ] Seperti ada kabut yang menyelimuti keluarga BAGASKARA. Kabut yang membungkus masalah yang terjadi di dalam nya dan hanya membuat orang berpikir bahwa mereka adalah keluarga yang sempurna. Tetapi, saat kabut itu perlahan...