Chapter 09

13.6K 2.4K 272
                                    

Langit masuk sekolah kembali setelah satu minggu cowok itu beristirahat di rumah,  padahal Langit sudah bersikeras untuk segera masuk sekolah selepas diperbolehkan pulang dari rumah sakit.  Tapi Satya tidak memperbolehkan dengan alasan Langit masih harus bed rest untuk benar-benar memulihkan dirinya.

Duh,  protectif banget!  Langit sadar,  di antara saudara-saudaranya bahkan kakaknya sendiri Satya lah yang paling sering menunjukan afeksinya pada Langit.  Menunjukan bentuk perhatian dan kasih sayang layaknya saudara kandung pada Langit bahkan melebihi Xavier yang minggu kemarin mengatakan niatnya untuk mencoba menerima Langit sebagai adiknya.  Benar-benar sebagai adik.

Memang sih Langit melihat sedikit perubahan dari sikap Xavier padanya, contohnya saja cowok itu memilih stay di rumah saat Langit sedang bed rest,  katanya sih dia sedang tidak ada kerjaan penting yang harus di lakukan di luar rumah. Tapi Kala bilang padanya kalau sebenarnya Xavier sengaja diam di rumah untuk menemani Langit saat semua orang tidak ada di rumah,  Langit tidak ingin percaya. Dia tidak mau percaya kalau Xavier tidak mengatakan nya sendiri, dan mustahil Xavier mau mengatakannya.  Mereka berdua itu sama, memiliki gengsi dan ego yang tinggi.

"Woy!"

Tubuh Langit hampir terdorong ke depan saat Marvin menepuk bahunya terlalu keras, bukan menepuk lagi melainkan terasa sebagai sebuah pukulan yang membuat bahu nya panas.  Langit langsung menatap sinis pada Marvin yang malah cengengesan.

"Udah sembuh lo?"

"Keliatannya?" Langit balik bertanya, melanjutkan langkahnya sambil membetulkan letak tas sekolah yang tersampir di bahunya. 

"Padahal gue doain lo nggak sembuh-sembuh." Jawab Marvin asal sambil berjalan beriringan dengan Langit yang lagi-lagi menatapnya horor dengan sebelah alis terangkat. "Habis lo nggak ngebolehin gue buat jenguk, sih!" Marvin mendorong bahu Langit. Jujur saja, dia kesal karena Langit tidak memperbolehkannya menjenguk ke rumah. Hampir tiga tahun mereka berteman, tapi rasanya tidak pernah sekalipun Langit memberitahu dimana rumahnya, atau bagaimana keluarganya.  Langit benar-benar menutup rapat semua tentang kehidupan pribadinya.

Langit berdecak, bukannya dia tidak ingin Marvin menjenguknya. Mungkin akan menyenangkan jika saja Marvin berkunjung ke rumahnya, setidaknya dia ada teman ngobrol, atau bertengkar. Xavier memang ada di rumah, tapi tetap saja cowok itu bersembunyi di dalam studionya. Jadi untuk apa Xavier ada di sana kalau Langit masih merasa terabaikan?  "Udah ada abang gue yang jagain." Langit ingin tertawa, tawa sinis. Jagain apanya?

"Lah, lo punya abang?" Marvin tentu saja tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya, lagi-lagi karena Langit memang tidak pernah membahas soal keluarganya.  Marvin jadi bertanya pada dirinya sendiri, apa dia benar dianggap teman oleh Langit?  Mungkin tidak.

Langit menghela nafas, seakan membaca kekecewaan di raut wajah Marvin yang mendadak lesu. "Kapan-kapan lo gue ajak ke rumah." akhirnya Langit menjawab.

"Beneran?" suara Marvin berubah antusias.

"Iya." yah,  mungkin nggak ada salahnya kalau nanti pada akhirnya dia memberi tahu Marvin siapa dia yang sebenarnya, terlebih tentang status keluarganya. Langit hanya berharap, saat waktu itu tiba Marvin tetap akan menjadi temannya. 

"Eh,  lo mau kemana?!" Marvin yang menyadari arah langkah Langit tak menuju kelas meneriaki cowok itu. Membuat beberapa pasang mata melirik mereka, Marvin balik melotot. Menghampiri Langit yang sudah menuruni tangga lebih dulu. "Mau kemana?" ulangnya.

"Ketemu Gama...ngapain?" Langit berhenti melangkah, lengannya di tarik Marvin kuat sementara wajah temannya itu sudah tegang dan cemas. "Tenang aja," Langit melepaskan lengannya yang dipegangi Marvin kuat. "Gue bukan mau berantem sama dia." Langit kembali melangkah, menuruni anak tangga lantai satu.

The Bagaskara's : Nebula ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang