Chapter 01

18K 2.7K 412
                                    

Sebenarnya, tidak ada alasan yang pasti dan jelas kenapa pada akhirnya ketujuh bersaudara Bagaskara itu memilih untuk tinggal satu atap bersama-sama. Semuanya terjadi secara alami saja. Tapi tahu kan gimana jadinya kalau cowok kumpul jadi satu?  Ada aja yang diributin,  ada aja ruangan yang berantakan dan langsung ditinggal kabur penghuninya tanpa diberesin dulu.  Dan ada aja drama pagi hari,  contohnya seperti yang satu ini,

"Ndra, lihat handphone gue nggak?"

Itu adalah kalimat pertama yang Andra dengar dari Garda di pagi hari senin. Andra mengerutkan sedikit keningnya, menghela nafas berat sembari membenarkan dasi maroon nya. 

"Garda,  seriouslyIni masih pagi dan lo udah nanyain hal begituan?" Andra, menatap sepupunya tidak percaya. Entah apa yang terjadi pada otak cemerlang seorang Garda Bagaskara, kenapa cowok dua puluh tujuh tahun itu selalu melupakan hal-hal sepele macem dimana dia naruh barang-barangnya sendiri. 

Garda berdecak,  "Lo lihat nggak?" Garda menuntut jawaban,  tahu kok dia tahu,  ini emang masih terlalu pagi buat dia memperlihatkan kecerobohannya pada Andra.  Tapi gimana lagi,  dia udah nyari ke mana-mana nggak ketemu.  Bahkan dia lupa terakhir kali dimana dia meletak kan handphonenya, kalau inget juga nggak bakal nanya sama Andra.

"Nggak lihat!" Andra menyahut galak,  kemudian duduk di meja makan.  Bersiap sarapan enggan membantu Garda yang kelimpungan.  Biarin!  Siapa suruh pagi-pagi udah ngasih kerjaan sama Andra,  emangnya dia digaji cuma buat nyari barang-barang orang ceroboh kayak sepupunya itu? 

Garda frustasi, dia meletakan tas kerjanya di atas meja makan.  Mengeluarkan seluruh isinya lagi, dokumen, tempat kacamata, padahal dia sudah memeriksa tasnya hampir tiga kali. 

"Da, pinteran dikit kenapa?" Andra yang gemas melihat tingkah Garda akhirnya mengeluarkan ponselnya sendiri dari kantong celana bahannya, mencari kontak Garda di antara deret kontak yang lainnya kemudian menekan tombol dial.  "Kan lo bisa nelpon hp lo!" Andra mengetuk-ngetuk pelipisnya sendiri sembari menempelkan alat komunikasi itu ke telinganya. 

Keduanya memasang telinga, berharap menangkap bunyi ponsel Garda untuk mengetahui dimana tepatnya benda yang dicari cowok itu.  Samar, keduanya mendengar suara dering ponsel. Makin lama semakin mendekat, sampai kemudian Kala datang dengan membawa handphone Garda di tangannya yang sedang berdering dan menampilkan nama  KALANDRA di layarnya. 

"Bang Andra ngapain nelpon hp nya bang Garda?" Kala langsung bertanya, "kan orangnya di depan abang,  tuh gede banget gitu masa nggak kelihatan."

Garda mengambil satu langkah lebih mendekat pada adiknya, langsung menyambar handphonenya dengan raut sedikit kesal,  "Kamu ngumpetin hp abang?" Garda langsung menuduh, cepat-cepat memasukan hp nya ke dalam saku jas takut dia lupa lagi dan berakhir kena omelan Andra. 

"Idih!" Kala memberengut,  apa-apaan bang Garda,  pagi-pagi udah nuduh orang.  "Tadi gue nemuin hp abang di samping wastafel, untung aja nggak nyemplung. Pasti abang lupa lagi, kan?" Kala balik menuduh, meski yakin seratus persen tuduhannya pada sang kakak terbukti benar melihat ekspresi Garda yang langsung berdehem dan pura-pura membetulkan dasinya sambil duduk di meja makan tepat di seberang Andra.

Andra sendiri hanya bisa menghela nafas berat, pagi-pagi sudah dibuat dongkol.  Apa nggak bisa satu hari aja gue jalanin hidup dengan normal? 

Baru saja Andra mengatakannya dalam hati,  tiba-tiba aja Dylan keluar dari kamar nya hanya dengan handuk yang melilit pinggang serta rambut yang masih basah. "Kala!" cowok itu berteriak agak lantang pada Kala yang langsung menoleh sambil menaikan sebelah alisnya,  "lo ngambil daleman gue, ya?"

Geez,  tuduh aja terus gue tuduh!  "Daleman apaan? Lo pikir gue nggak punya daleman apa?!" Kala menyahut sewot, tidak terima. Apa Dylan pikir dia tidak mampu beli daleman sampai harus ngambil punya orang lain?  Punya Dylan lagi, jelas-jelas ukurannya berbeda.

"Daleman yang sering gue pake kok nggak ada?  Pasti lo, kan?  Jangan usil deh, La!" Dylan masih bersikeras, menuduh Kala meski tak ada bukti pasti.

"Abang buang."

Hening.

"Abang buang?!" Dylan langsung menghampiri Andra yang sibuk mengoles selai pada rotinya dengan santai, tak sedikitpun terganggu meski Dylan sekarang tengah menatapnya sengit. "Kok abang buang?  Itu kan punya Dylan, bang!"

Andra meletakan pisau selainya, menghela nafas sebelum menarik rambut Dylan yang basah.  "Lagian kamu kayak punya daleman satu doang, sih?!  Daleman buluk gitu masih aja dipake!  Buat apa abang kerja mati-matian kalau beliin kamu daleman aja abang nggak bisa?!" Andra balik mengomel.

Garda berdehem,  "Nggak mati-matian juga, Ndra. Gue nggak nyuruh lo kerja rodi." Garda sedikit tersinggung, kemudian melanjutkan menyesap kopi hitamnya.

Andra tidak peduli pada protes Garda, "Pokoknya, daleman yang itu udah abang buang. Pake yang lain sana!"

"Nggak mau!  Gue udah nyaman pake yang itu, Bang." Dylan setengah merengek, rasanya...rasanya sedih mendengar benda yang sering ia kenakan itu dibuang begitu saja bagai sampah. Emang abangnya itu nggak pernah dengar kalimat,  semakin lama dan usang suatu benda digunakan itu akan semakin terasa nyaman.  Nah!  Itu yang Dylan rasakan.

"Lan, Lan, udah." Kala menarik tangan Dylan yang mau protes lagi, "mending turutin bang Andra, terus cepetan ganti baju sana.  Keburu bang Satya ngamuk." Kala memperingatkan.

Dylan terpaksa mengalah kali ini, benar juga, pikirnya. Sebelum bang Satya menemukannya berada di ruang makan tanpa busana lebih baik dia cepat-cepat berganti pakaian, meski nanti dia pasti akan minta pertanggung jawaban bang Andra lagi atas dalemannya yang dibuang begitu aja.  Dylan meninggalkan  ruang makan sambil menggerutu, langkah kakinya yang menghentak-hentak tangga kayu terdengar pelan hingga benar-benar hilang. 

Andra menghembuskan nafas diam-diam, berpikir kalau semua kebisingan di pagi hari itu sudah akan berakhir. Dia bisa sarapan dengan tenang tanpa gangguan. Iya, tanpa gangguan sampai...

"Astagfirullah, pak anak-anak saya jangan dikandangin, ya, pak." Satya, keluar dari kamarnya dengan kemeja yang belum dimasukan ke dalam celana bahannya,  dengan handphone menempel di telinganya.  "Iya, pak. Saya tahu ini bukan yang pertama kali." Suara Satya memohon,  tak menghiraukan pandangan saudara-saudaranya yang lain.  "Pokoknya jangan dikandangin, pak. Ini saya berangkat ke sana sekarang. Ya, pak." Satya mematikan handphonenya,  buru-buru memasukan kemeja ke dalam celana lalu mengambil tas ranselnya yang semula dia letakan di atas meja makan. 

"Kenapa, Bang?" Kala bertanya lebih dulu. 

"Biasa, anak-anak singa pada cari masalah lagi."

Mereka tahu,  yang dimaksud Satya dengan anak-anak singa itu tak lain adalah anak-anak muridnya di sekolah yang memang, yah, seperti anak singa yang kelaparan. Kata Satya. 

"Kalian sarapan sendiri aja, ya. Gue berangkat dulu." Satya menepuk bahu Garda sekilas kemudian berjalan keluar dari ruang makan, tapi kemudian langkahnya berhenti, menoleh lagi pada saudara-saudaranya.

"Bentar,  Langit ada di rumah, kan?"

The Bagaskara's : Nebula ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang