Lima puluh tujuh [END]

7.3K 325 347
                                    

Warning!! Part-nya panjang. Memang sengaja, spesial ending. Jadi dibacanya perlahan-lahan aja, tidak usah terburu-buru:)

Vote-nya jangan lupa!

❝Semua orang punya hak untuk bahagia, entah di bahagiakan atau membahagiakan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

❝Semua orang punya hak untuk bahagia, entah di bahagiakan atau membahagiakan. Dan percayalah, semesta juga punya banyak cara untuk membuat kita bahagia.❞

•••

"Rafa, ayo semangat masukin bolanya ke ring!"

Seruan heboh dari lapangan basket itu pemecahan kesunyian di halaman rumah Vano dan Jessi. Lelaki berperawakan tinggi itu begitu semangat meminta jagoannya untuk segera memasukkan bola basket di ring khusus anak kecil. Rafa yang bertubuh mungil itu justru membawa bola basket kecil itu dengan kedua tangannya, bukan justru memantulkan seperti teknik Vano mengajarkan. Bola tersebut masuk dengan sempurna, Vano sontak bertepuk tangan heboh melihatnya.

"Nah, ini baru jagoan Ayah! Keren, Rafa keren pokoknya!!"

Vano mendekati Rafa, lalu memberi tos seperti sebelumnya. Deretan gigi putih itu terlihat, menampilkan senyum lebar dari Rafa. Tangan kanan Vano yang membawa botol minum Rafa, Vano arahkan, meminta anaknya itu untuk meminum air putih tersebut.

"Istirahat dulu Rafa di sini ya? Ayah lagi gantian main basketnya," titah Vano yang langsung dimengerti Rafa. Anggukan kecil darinya membuat Vano segera menuju lapangan untuk bermain basket juga.

Sambil memantulkan bola basket itu sebagai persiapan, Vano sesekali melirik jagoannya yang tenang duduk di tepi lapangan memperhatikannya. Di umur yang menginjak satu tahun lebih sembilan bulan, sudah bisa membuat Rafa mengerti akan perintah orang tuanya.

"Ingat, duduk di sana aja, jangan samperin Ayah, nanti kena bola kepalanya bisa benjol!" peringat Vano sekali lagi. Itu sontak mengangguk-anggukkan kepala Rafa kecil seraya mengacungkan jari telunjuknya isyarat siap dari anaknya itu.

Meski sebentar lagi Vano menginjak kepala tiga, jiwa-jiwa anak mudanya tidak hilang sedikitpun, terlebih lagi mengenai bermain basket ini, sudah jelas jiwa mudanya memberontak dalam dirinya. Tetap sama, lelaki itu terlihat seperti Vano si kapten basket saat jaman anak SMA. Berulang kali memasukkan bola ke ring dengan sempurna. Mengibaskan rambut basahnya ke belakang, sambil menetralkan sesekali deru napasnya yang mulai tidak teratur. Dirinya sudah merasa lelah, sebab itulah kini memilih menepi mendekati Rafa lagi.

"Keren nggak Ayah?" tanya Vano. Tangan lelaki itu terjulur mengambil botol minum bergambar beruang milik anaknya itu, menghabiskan setengah air minum Rafa, dengan satu tegukan.

"Keyennn!!" jawab Rafa cepat. Dua jari telunjuknya ia arahkan di hadapan Ayahnya sambil tersenyum menunjukkan deretan gigi putihnya.

"Main basket yang benar itu kaya Ayah tadi, kalau Rafa tadi salah. Tapi gapapa, Ayah maklumin sekarang, tapi kalau udah besar, harus bisa kaya Ayah, oke?!"

I'm Promises || ᴋᴛʜ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang