Lima puluh empat

5.5K 406 318
                                    

Vote-nya jangan lupa!

❝Seperti lukisan yang indah dan punya makna, maka begitu juga perasaan ku padamu, indah dan bermakna

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

❝Seperti lukisan yang indah dan punya makna, maka begitu juga perasaan ku padamu, indah dan bermakna.❞

•••

Pagi-pagi sekali, mobil sport hitam milik Vano sudah terparkir saja di halaman rumah orang tua Jessi. Tentu dari maksud kedatangan lelaki itu untuk menjemput istrinya kembali ke rumahnya. Senyum merekah tidak pernah hilang menghiasi wajah lelaki itu––terpancar kebahagiaan yang begitu mendalam. Derap langkah menuju ruang tamu di mana ia berada membuat Vano angkat pandang––sosok yang ditunggunya datang, menarik koper, bersama Bunda Wenny yang menggendong Rafa.

Rasanya seperti mimpi, Vano bisa memandang lagi wajah cantik dihiasi senyum manis itu. Padahal baru kemarin ia melukainya, namun sekarang dengan mudahnya perempuan itu memberinya kesempatan. Beribu terimakasih selalu Vano curahkan dalam hatinya, bahwa begitu beruntungnya ia bisa dipertemukan dengan perempuan baik hati itu. Ingatkan Vano terus dengan janjinya, kalau ia tidak akan lagi melukai perempuannya.

Bersamaan dengan Vano yang bangkit berdiri, Irvan datang menepuk pundaknya. "Ingat Vano, ini kesempatan terakhir kamu. Jika kamu membuat putri Ayah menangis lagi, jangan harap kamu bisa bertemu dengan putri Ayah lagi, apalagi menginjak kaki di rumah ini."

Tegasan dari Irvan itu langsung diangguki cepat oleh Vano. "Iya Ayah, janji. Kali ini aku benar-benar sudah berubah, aku nggak akan lagi bikin Jessi seperti kemarin, dan bikin Ayah kecewa."

"Ayah pegang janji mu, kalau sampai terulang lagi, Ayah potong leher mu!"

Vano meneguk salivanya susah payah mendengar itu, sehingga membuatnya terdiam kikuk dan setengah mematung. Sedang Ayah Irvan yang melihat, kembali lagi menepuk pundak lelaki itu. "Ayah bercanda, mana mungkin Ayah berani memotong leher mu. Lebih baik memotong leher ayam buat digoreng."

Ayah Irvan terkekeh menggeleng kepala ketika melihat Vano menghembus napas lega. "Kamu ini masih aja kaku seperti dulu. Santai saja, Ayah nggak seserem itu, kan?"

Jessi yang sejak tadi memperhatikan interaksi Ayah dan Vano itu hanya menahan tawa karena lucu. Setelah memakan waktu setengah jam yang diisi petuah dari Ayah untuk menjalin rumah tangga yang lebih baik lagi, akhirnya kini Jessi dan Vano sudah masuk ke dalam mobil. Kaca mobil yang sengaja dibuka memperlihatkan Bunda dan Ayah yang melambai tangan, juga binar mata yang berkaca-kaca––tanda rasa terharu, dan bahagia melihat kini rumah tangga putrinya sudah membaik.

"Vano, jangan dibawa ngebut. Ingat, ada istri dan anak mu!" peringat Irvan yang entah sudah keberapa kalinya.

"Iya, Ayah..."

"Nanti kalau udah sampai rumah jangan lupa telepon Ayah!"

"Pasti! Kalau gitu kami berangkat dulu ya?"

I'm Promises || ᴋᴛʜ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang