Empat puluh satu

4.1K 339 312
                                    

Vote-nya jangan lupa!

❝Terimakasih, berkatmu aku jadi bisa tersenyum bahagia seperti dulu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

❝Terimakasih, berkatmu aku jadi bisa tersenyum bahagia seperti dulu.❞

•••

Usai dari makam, Jessi dan Vano langsung berlenggang pulang menuju rumah mereka. Selama di perjalanan, percakapan tidak pernah terdengar sama sekali. Jessi sendiri pun lebih cenderung diam sejak di pemakaman Danis itu. Entah apa yang dipikirkan Jessi sekarang, tapi yang pasti Vano tidak punya cukup keberanian untuk bertanya.

Hingga sampai di rumah besar itu, Jessi turun lebih dulu, diikuti oleh Vano dari belakang. Sesampainya mereka di ruang tamu, Vano tiba-tiba memanggil Jessi, yang membuat perempuan itu berhenti sejenak sambil menoleh ke arah belakang.

"Sini," titah Vano. Lelaki itu sudah berjalan ke satu ruangan yang masih berada di lantai satu. Jessi yang melihat sempat mengernyit, namun tetap saja langkahnya menghampiri lelaki itu.

"Kenapa Vano?" tanya Jessi tanpa ekspresi––entahlah, ia merasa malas untuk berbicara sekarang. Faktor kehamilannya membuat suasana hatinya kadang berubah-ubah.

"Tolong bukain pintunya."

Lagi-lagi lelaki ini memerintah Jessi, yang membuat perempuan itu sempat menatap bingung ke arah Vano. "Kamu kan punya tangan, kenapa nggak buka sendiri aja?"

Sambil bersedekap dada layaknya bos di depan Jessi, dengan bersandar di dinding tembok, Vano lekas menjawab santai, "Minta tolong."

Jessi sempat berdecak kesal atas ucapan itu, meski begitu, ia tetap menurut––membuka pintu bercat coklat tua itu yang rupanya tidak terkunci. Pintu itu terbuka setengah. Dalam hati Jessi berkata, semudah ini tetap aja nyuruh-nyuruh orang!

"Udah."

"Coba lo liat di dalam, ada apa?"

Dengan setengah rasa malas, Jessi lekas menoleh ke arah ruangan yang baru saja ia buka ini. Damn it! Jessi dibuat terkejut setelah tahu isi di dalam ruangan ini––semuanya di penuhi akan perlengkapan melukis. Matanya berbinar melihat tiap inci ruangan ini penuh serba perlengkapan melukis––terlihat begitu aesthetic dari pandangannya. Dinding tembok bercat putih, dengan ruangan yang cukup luas ini membuat langkah Jessi tanpa sadar masuk ke dalam.

"Aku baru tahu kalau di rumah ini ada ruang melukisnya," ujar Jessi.

"Ini awalnya ruangan kosong, daripada nggak di pake, makanya gue buatin ruang melukis buat lo. Gue denger dari Ayah lo, lo suka melukis. Di kamar lo juga penuh lukisan. Bakat kaya gitu sayang dipendam aja yakan? Mending lo salurkan lagi di ruangan ini. Pokoknya ruangan ini milik lo."

"Serius? Berarti aku boleh melukis di sini dong?" Pertanyaan itu langsung di angguki singkat oleh Vano, membuat Jessi menutup mulutnya saking senangnya mendapatkan ruangan khusus untuknya melukis. "Makasih Vano!"

I'm Promises || ᴋᴛʜ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang