Vote-nya jangan lupa!
❝Dia dengan segala pesonanya, dan saya yang berusaha untuk tidak jatuh hati padanya.❞
•••
Mentari sudah tenggelam digantikan dengan bulan purnama yang bersinar terang di sebagian permukaan bumi––ditemani bintang yang berhambur di tiap titik penjuru langit gelap. Indahnya suasana malam ini tidak dilewatkan oleh sepasang netra tajam yang tengah beristirahat sebentar dari penat kehidupannya sekarang. Tentu tidak lain iyalah Vano, yang sekarang sedang duduk santai di teras rumah, dengan kepala menengadah ke atas.
Sesaat ia menghembus napas berat, kemudian diambilnya kembali soda kaleng yang sempat ia letakkan di samping tubuhnya. Meneguknya perlahan, sambil netranya yang tidak diam terus bergerak kesana-kemari. Hingga derap langkah seseorang membuatnya menoleh cepat, mendapati sosok Jessi yang berjalan ke arahnya.
"Jangan lama-lama diluar Vano, angin malam nggak terlalu bagus buat kesehatan," tegur Jessi setelah wanita itu ikut duduk di teras rumah.
"Kalau tau angin malam nggak terlalu bagus buat kesehatan, kenapa lo ikut keluar juga?" Bukannya menjawab, Vano justru melontar pertanyaan. Membuat Jessi perlahan menyodorkan segelas kopi panas yang memang dibawa sebelumnya untuk lelaki itu.
"Aku bawain kopi. Tadi sebelumnya aku lihat kamu bawa laptop keluar, aku pikir kamu tadi mau lanjut pekerjaan kamu di teras, makanya aku buatin kopi. Kata orang, sambil kerja minum kopi itu lebih semangat, apalagi malam-malam gini."
Bukannya menyambut, Vano malah berkata, "Sorry, tapi gue nggak suka kopi."
"Hah?" Jessi sampai melongo mendengarnya. Apa lelaki itu betul-betul tidak suka kopi atau justru menolak kopi buatannya.
"Kopi pahit rasanya, lebih enakan minuman soda," perjelas Vano. Tangan Vano juga sempat menggoyangkan soda kaleng yang masih dipegangnya itu memperlihatkan kepada Jessi.
"Tapi pengharum mobil kamu bau kopi." Jujur saja Jessi masih tidak percaya dengan pernyataan Vano bahwa lelaki itu sungguh tidak menyukai kopi, karena menurut Jessi laki-laki rata-rata pencinta kopi.
"Gue suka baunya, bukan rasanya."
Ah, Jessi jadi sedikit kecewa. Padahal niatnya ingin mengucapkan makasih dalam bentuk menjadi istri baik––membuatkan kopi, atas perlakuan Vano di sore tadi mengantarkannya memakan durian. Tapi effort-nya malam ini menjadi sia-sia karena lelaki itu ternyata tidak menyukai kopi.
Raut wajah cemberut dari Jessi itu rupanya tertangkap jelas oleh Vano. Lelaki itu tanpa aba-aba mengambil alih gelas berisi kopi panas itu dari tangan Jessi, membuat wanita itu tersentak kaget sesaat. "Makasih kopinya. Tapi lain kali nggak perlu dibuatin lagi, buang-buang waktu dan tenaga lo aja."
Karena masih panas, uapnya keluar––masuk ke dalam indera penciuman Vano. Tidak ada yang berbeda, Vano tetap menyukai baunya, tapi tidak dengan rasanya. Cukup aneh, tapi memang seperti itulah seorang Alvano Putra Mahesa.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm Promises || ᴋᴛʜ [END]
Romance[FOLLOW DULU SEBELUM BACA] Kata orang, menikah itu sesuatu yang paling ditunggu dan diimpikan pada sepasang kekasih. Sesuatu yang menjadi momen paling berharga nantinya. Tapi mengapa untuk sepasang pengantin baru ini tidak? Tak ada senyum ketulusan...