Akila mempercepat langkah kakinya masuk ke dalam gerbang sekolah setelah di antar oleh sopir pribadi papanya. Mobil miliknya terpaksa masuk bengkel karena mogok secara tiba-tiba satu hari lalu. Saat itu dirinya dan Zania tengah menuju museum untuk mengerjakan tugas yang diberikan oleh Bu Raisa, guru Bahasa Indonesia. Karena hal itu, Denada menjemputnya lalu mengantar keduanya ke tempat tujuan.
Siswa siswi berlalu lalang menuju kelas masing-masing. Seperti biasa, Akila melompat kecil tanpa menghentikan langkah kaki. Senyumnya mengambang setelah dekat dengan loker kesukaannya. Tentu kalian telah tahu, bukan? Yap, loker dengan nomor tiga puluh.
"Kali ini nggak akan ketahuan sama Kak Langit lagi," ujar Akila dibarengi kekehan ringan dari bibirnya yang mungil itu.
"Surat keberapa tuh?"
Akila tersentak langsung memutar badannya menghadap ke samping. Di sana berdiri Alfan dengan ransel yang ada di pundak cowok itu. Mengamati Akila.
"K-Kak Alfan bikin Akila kaget." Akila bernapas lega setelah menyadari jika yang mengetahui tentang surat yang ia selipkan ke loker Langit adalah Alfan, teman satu kelas crushnya.
Alfan terkekeh lalu geleng kepala menyadari raut Akila yang begitu lucu di matanya. Apakah ia terlihat seperti hantu sehingga Akila bereaksi seperti itu?
"Santai aja lagi, kayak liat hantu aja." Alfan membuka lokernya lalu mengeluarkan rokok dan pematik, kemudian melangkah menjauh dari Akila.
Akila melongo melihat Alfan yang menampilkan raut biasa saja saat mengeluarkan rokok serta pematik. Perlahan, Akila menggeleng heran. Bisa-bisanya anak musik yang dibanggakan oleh para guru bersikap demikian.
"Mungkin Kak Alfan lelah," gumam Akila.
Sebelum beranjak, Akila celingukan kanan kiri memastikan keadaan aman dari pantauan Langit. Setelah itu, Akila berlari kencang menuju kelasnya. Berharap, Langit luluh dengan suratnya kali ini.
"Nih cewek nggak ada kapok-kapoknya!"
***
Akila menggarisi catatan yang penting dengan bulpoin kesukaannya, berwarna merah muda. Zania ada di sampingnya. Gadis itu masih bertarung dengan materi yang ada di papan tulis. Minggu depan akan di mulai ulangan harian."Ntar lo pulang bareng siapa?" tanya Zania sesekali melirik Akila yang sibuk menggaris judul besar materi di buku catatan.
"Belum tau," jawab Akila sambil menggeleng.
"Bareng gue aja. Kebetulan nanti sepupu gue mau jemput," kata Zania.
Sejenak Akila memejamkan mata lalu bersandar ke bangku. Jika ia pulang dengan sepupu Zania tentu rencana hari ini akan gagal.
"Mikir apaan lo?" tanya Zania.
"Akila lagi banyak pikiran sekarang."
"Mikirin Langit?" tebak Ziana yang sepenuhnya benar.
"Iya. Kalo Akila pulang bareng sepupu Zania, terus Akila enggak bisa nyamperin Kak Langit. Akila harus gimana dong? Makanya Akila lagi mikir dan mempertimbangkan jawabannya."
Zania yang kelewat gemas menoyor kepala Akila. "Cuma mikir gitu doang dan lo bilang banyak pikiran? Lo tinggal nolak ajakan gue buat pulang bareng."
Akila menopang dagu, masih mempertimbangkan usulan Zania barusan.
"Terus enggak bisa pulang bareng Zania dong. Kita kan, udah janji mau mampir ke gramed buat beli novel," ujar Akila. Kedua pipinya menggembung. Pilihan yang sulit.
"Lain kali bisa Akila. Lagian masih banyak hari buat kita pergi-pergi gitu. Minggu depan kan, kita libur sehari gegara tanggal merah. Bisa tuh buat kita ke gramed," ujar Zania memberitahu.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm Not A Narsis Baby (TERBIT)
Dla nastolatkówFOLLOW SEBELUM MEMBACA KARENA SEBAGIAN CERITA DI PRIVATE! JANGAN TUNGGU SAMPAI ENDING, NANTI NYESEL🥵 Ini bukan kisah tentang Cinderella yang kehilangan sepatu kaca atau pun kisah seorang nerd girl yang bertemu pria kaya raya. Ini hanyalah kisah Ru...