11. Kehidupan Adalah Privasi

12.7K 1.1K 410
                                    

Akila menyalin tugas Kimia dengan kecepatan penuh. Semalam ia kelupaan mengerjakannya, jadilah sekarang ia begitu tergesa karena Pak Curipto sudah berjalan ke arah kelas. Perlu diingat lagi, Pak Curipto tak akan segan-segan menghukum murid jika tak mengerjakan tugas yang dia berikan. Seperti hormat bendera hingga jam istirahat serta membersihkan toilet sekolah.

"Kil, buruan ... Pak Curip udah di depan mata." Zania jadi pengamat di ambang pintu. Ia ikut resah jika guru itu sampai mengamuk di kelas. Pernah juga ngambek dan tak masuk selama tiga kali pertemuan.

"Zan? Udah beneran deket Pak Curipnya?" Tak hanya Akila yang belum mengerjakan tugas, namun sebagian dari mereka. Seketika tulisan tangan seperti ceker ayam, nyaris tak bisa dibaca.

Zania mengangguk membuat sebagian mereka jadi panas dingin seperti akan ditembak Mas Crush menggunakan stiker jamet. Tanpa buang waktu, kecepatan tangan menjadi seperti kilat. Tak peduli dengan ceker ayam yang sekarang telah pindah ke buku tugas.

"Tangan Akila jadi kaku, astaga ...." Akila adalah tipe manusia yang seketika merasa terdesak, tenaganya jadi terasa melambat. Semua itu karena Pak Curipto yang menggunakan langkah seribu.

"Alhamdulillah, gue selesai ...."

"Yess, akhirnya tugas gue!"

"Benerin bangku, woii ...." Ciko mulai mengomel dan memberi perintah untuk menata bangku menjadi rapi seperti semula. Bagi Pak Curipto, bangku yang tak sejajar juga mengganggu konsentrasi dalam belajar. Ribet, memang!

Langkah kaki Pak Curipto semakin dekat. Zania berlari menuju bangku dan duduk di samping Akila. Gadis di sampingnya itu terlihat mulai banyak berkeringat. Jadilah Zania ikut turun tangan, membantu Akila. Mengipasi wajah gadis itu agar tetap merasa segar di tengah rasa gerah.

"Tarzan, pinjem tangannya," ujar Akila tanpa menoleh. Ia terus memacu kecepatan tangannya yang sebenarnya sudah terasa tak bertenaga.

"Lemnya kuat, Kil, gabisa dicopot." Zania terus mengipasi kepala Akila.

"Andai tangan bisa dicopot, udah Akila copot tangan Kak Langit," ujarnya membuat mata Zania membulat.

"Berarti lo tega bikin crush lo buntung dalam sekejap?" ujarnya membuat Akila jadi tergelak.

"Ya, enggak ... nanti Akila balikin."

Tak ada harapan lagi untuk berbicara kala Pak Curipto telah masuk ke dalam kelas. Matanya yang tajam seperti silet mengamati satu persatu murid yang ada di dalam kelas. Tak lama, kemudian matanya menyipit, memperhatikan deretan bangku dari depan hingga belakang.

"Good! Ada tugas hari ini?" tanyanya kemudian menaruh buku serta penggaris panjang ke atas meja. Penggaris keramat yang sering ia gunakan menampar pantat murid laki-laki yang keras kepala.

"Ada, Pak!!!" jawab mereka kompak.

"Kumpulkan ke depan."

"Untung aja ... Akila selesai tepat waktu." Akila menegakkan tubuhnya sembari mengembuskan napas lega. Ia berhasil terhindar dari hukuman Pak Curipto yang hanya ada dua pilihan itu.

"Bagus deh ... lain kali jangan sampe lupa nugas, Kil ... bahaya kalo Pak Curipto ngambek. Gak masuk terus tiba-tiba ngasih ulangan," jawab Zania sambil mendengus sebal mengingat nilai ulangannya remedial.

Akila membalik halaman buku tugas yang baru ia selesaikan. Tak apa. Akila tak peduli dengan bentukan tulisan tangannya saat ini. Setelahnya, ia titip pada Zania kala gadis itu ingin mengantar tugas ke depan, tepatnya ke meja Pak Curipto.

Buku tugas telah dikumpulkan. Semua murid kembali ke bangku masing-masing sembari menyediakan alat tulis untuk melanjutkan materi yang akan dipelajari pada hari ini. Sementara itu, Pak Curipto telah berdiri di depan papan tulis dengan buku tebal dipangkuannya.

I'm Not A Narsis Baby (TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang