Baru saja Akila keluar dari mobil setelah ia parkirkan, Claudia lebih dulu menghadangnya dengan sorot mata yang tak bisa untuk diartikan. Sementara itu, Alan yang berangkat bersama gadis itu memilih meninggalkan Claudia seorang diri di sana. Ia tahu jika itu adalah urusan sesama perempuan.
"Kemarin kamu pergi sama Langit lagi, ya? Berapa kali lagi, Kil, aku ngomong begini ke kamu. Aku mohon, jauhin Langit, Akila ...," pinta Claudia memohon.
"Berapa kali lagi harus aku jawab pertanyaan yang nggak guna ini, Kak! Aku gabisa jauhin Kak Langit. Aku sayang sama dia, aku cinta sama dia. Kak Claudia harusnya ngerti perasaan aku gimana!" Akila menyorot Claudia tajam.
"Bukan aku yang harus ngerti kamu, Kil. Tapi kamu yang harus ngerti aku. Langit cowok aku. Kita jauhan gini karena ada masalah. Jadi please, kasih aku ruang untuk memperbaiki hubungan kami berdua," lirih Claudia.
Akila mengindahkan perkataan Claudia. Ia memilih beranjak dari tempat itu. Claudia selalu merusak suasana hatinya yang semula begitu cerah.
"Kil, aku tau kamu perempuan baik. Tinggalkan Langit dan kamu bisa sama cowok lain. Kamu cantik, aku yakin kamu bisa dapetin cowok yang lebih baik dari Langit." Claudia mengejar Akila. Ia tak akan menyerah.
"Kenapa bukan Kak Claudia aja? Kak Claudia juga cantik. Kenapa nggak cari cowok lain dan lupain Kak Langit? Nggak gampang, Kak, buang perasaan suka! Lupain Kak Langit nggak semudah Kakak ngomong barusan!" sinis Akila.
"Kenapa kamu susah banget dibilangin? Aku harus ngomong gimana lagi biar kamu ngerti perasaan aku. Aku sayang Langit, Kil ... Aku sayang dia. Aku rela kasih apa pun buat kamu asal lepasin Langit," tangis Claudia pecah begitu saja.
Akila menatap wajah Claudia yang basah. Tanpa ingin melanjutkan perdebatan, ia memilih beranjak. Bukannya jahat, ini tentang perkara hati. Merelakan tak semudah membalik telapak tangan.
"Aku harus ngomong gimana lagi sama kamu, Akila ... aku bingung, kenapa kamu keras kepala banget." Claudia menyeka air matanya.
"Nggak ada yang ngerti perasaan aku," lirihnya dengan kepala menunduk.
Setiba di kelas Akila menghempas kasar ranselnya. Claudia selalu saja membuatnya merasa bersalah.
"Kenapa Kak Claudia ngomong gitu terus. Akila benci liat dia nangis. Apa-apa minta jauhin Kak Langit. Apa-apa larang Akila deketan sama Kak Langit," ketusnya sebal.
Zania mengetuk pintu membuat Akila menoleh. Ia tarik napas panjang kemudian menampilkan senyum manis pada sahabatnya itu.
"Kenapa? Keliatan jengkel banget, masih pagi loh ini." Zania berjalan masuk.
Akila memejamkan mata lalu duduk di bangku. "Akila nggak suka liat Kak Claudia!" katanya sebal.
Zania tertawa. "Jangan sebal-sebal. Meski gitu, dia juga pernah jadi kesayangan crush lo!" katanya bercanda.
"Nggak perlu diperjelas juga, Tarzan," kata Akila dengan suara lemah. Sedikit, ia benci kenyataan itu.
Zania duduk di samping Akila seraya menaruh ransel di laci. Mendengar Akila yang berkali-kali mengembuskan napas panjang buat ia menoleh.
"Kenapa lagi?" tanyanya.
"Akila jahat ya, Tarzan?" tanya Akila dengan raut sendu. Meski berkali-kali ia mengatakan ia benci Claudia, tapi bertolak belakang dengan hatinya.
"Jahat dalam versi?" tanya Zania tak mengerti.
"Akila nggak tau. Akila juga bingung sama diri sendiri. Meski Akila bilang Akila benci Kak Claudia, tapi kenapa hati Akila nggak bisa ikutan benci dia? Akila selalu ngerasa bersalah setiap Kak Claudia nangis. Akila ngerasa udah jadi manusia paling jahat," ujar Akila dengan kedua mata memerah.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm Not A Narsis Baby (TERBIT)
Teen FictionFOLLOW SEBELUM MEMBACA KARENA SEBAGIAN CERITA DI PRIVATE! JANGAN TUNGGU SAMPAI ENDING, NANTI NYESEL🥵 Ini bukan kisah tentang Cinderella yang kehilangan sepatu kaca atau pun kisah seorang nerd girl yang bertemu pria kaya raya. Ini hanyalah kisah Ru...