Seperti yang ia katakan pada Langit, Akila menunggu cowok itu di taman sekolah sehabis bel pulang berbunyi. Sudah lebih dari lima menit Akila menunggu, namun Langit belum kunjung datang. Untuk menemui cowok itu di kelas, Akila tak memiliki keberanian sebanyak itu. Makanya, Akila memilih menunggu.
Akila menaruh ransel di atas paha. Sembari menunggu Langit, ada baiknya ia menulis isi hati, perasaan, serta keluh kesah yang ia rasa ke dalam sebuah diary miliknya yang berwarna merah muda.
Akila membuka kunci diary serta meraih pulpen kemudian mulai menulis.
Dear, Kak Langit
Kak Langit, Akila percaya sama kalimat yang pernah Akila temukan dalam quotes di hari itu. Akila mulai belajar banyak hal termasuk tentang perjuangan.
Katanya 'sekeras apa pun batu, tetesan air bisa melunakkannya' Akila yakin, hati Kak Langit bukan terbuat dari batu, tapi seakan-akan seperti itu.
Akila tak tau apa yang membuat Kak Langit menjadi sebegitu keras untuk ditaklukkan. Entah apa yang membuat hati Kak Langit membeku. Akila tak pernah tau.
Meski begitu, Akila tak akan menyerah.
Ia tahu tak mudah, tapi Akila akan terus berjuang. Satu kalimat yang ia yakini, tetesan hujan bisa membuat batu yang begitu keras bisa melunak. Air terus berjuang, tak pernah mengenal kata lelah hingga batu menjadi luluh padanya. Memang, ini bukan tentang air, tetesan hujan atau pun batu. Tapi ini tentang perjuangan.
"Kotak bekal lo? Langit titip ke gue."
Akila sontak menutup diary-nya ketika Alfan menyodorkan kotak bekal miliknya ke hadapannya. Sedikit kecewa, bukan Langit yang datang melainkan Alfan. Dengan senyum yang ia paksakan, Akila mengambil kotak bekal itu dari tangan Alfan.
"Makasih, Kak Alfan," ujar Akila sembari memasukkan kotak bekal ke dalam ransel.
Alfan melirik sekilas diary serta pulpen tinta yang ada di samping Akila. Setelahnya, ia mendudukkan diri di samping gadis itu.
"Langit buru-buru pulang, katanya ada urusan penting." Alfan menyadari raut kecewa yang tersirat di wajah serta di manik mata gadis yang ada di sampingnya itu.
Akila manggut-manggut mencoba menerima penjelasan Alfan, meski sekarang dadanya terasa campur aduk. Sedikit sesak.
"Kak Alfan enggak pulang?" tanya Akila.
"Bentar lagi, males buru-buru." Alfan sedikit bergeser ke belakang kemudian menekuk kedua kakinya ke atas bangku panjang yang tengah ia duduki.
Akila tak lagi bersuara, begitu juga dengan Alfan. Keduanya tak ada topik obrolan. Pertemuan singkat di belakang sekolah kala itu membuat Alfan mencoba mengakrabkan diri dengan Akila. Meski begitu, ia tak begitu pintar dalam mencaikan suasana yang mendadak hening seperti saat ini.
Riuh angin serta suara dari murid-murid yang masih tersisa di sekolah mengisi keheningan di antara keduanya.
"Lo suka banget ya, sama Langit?"
Tanpa rasa ragu, Akila mengangguk.
"Lebih dari suka," jawab Akila tanpa menoleh pada lawan bicaranya. Fokusnya tertuju pada rumput yang bergerak, ditiup angin.
"Semangat lagi berjuangnya, Akila. Gue yakin lo pasti bisa dapetin Langit nanti." Alfan menampilkan senyum kemudian berdiri. Senyum itu pun menular pada Akila.
"Gue duluan," kata Alfan sambil berjalan menjauh.
Akila menatap punggung Alfan dengan senyum lebar. Entah kenapa, kata penyemangat dari cowok itu membuat Akila semakin bersemangat dan kembali yakin jika hati Langit bisa ia dapatkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm Not A Narsis Baby (TERBIT)
Ficção AdolescenteFOLLOW SEBELUM MEMBACA KARENA SEBAGIAN CERITA DI PRIVATE! JANGAN TUNGGU SAMPAI ENDING, NANTI NYESEL🥵 Ini bukan kisah tentang Cinderella yang kehilangan sepatu kaca atau pun kisah seorang nerd girl yang bertemu pria kaya raya. Ini hanyalah kisah Ru...