Seorang anak laki-laki mengenakan jaket levis dengan topi merk Balenciaga berjalan tergesa setelah turun dari sebuah pesawat yang dia tumpangi. Kopernya sesekali berderit karena dia tarik begitu kencang menuju sebuah mobil yang telah menantinya beberapa menit sebelum pesawat yang ditumpanginya datang.
Dia Mario. Raut cemas dan khawatir kentara begitu jelas di wajahnya semenjak mendengar semua penjelasan Denada melalui telpon tentang Akila, sepupunya.
"Langsung pulang, Bro?" tanya anak laki-laki yang bernama Leo. Dia teman baiknya Mario dari masa sekolah.
Mario menggeleng. "Ke rumah Akila."
Mobil melaju membelah jalanan kota yang begitu ramai. Mario menurunkan kaca mobil, menatap setiap pohon yang terlewati dengan helaan napas panjang berkali-kali.
"Are you okay?" tanya Leo. Ia belum tahu alasan Mario pulang mendadak seperti ini, padahal tengah ada kesibukan.
Mario berdecak lalu bersandar ke mobil. "Sedikit," jawabnya singkat.
Tak berapa lama, mobil pun berhenti di depan gerbang rumah yang beberapa bulan ini tak ia kunjungi. Segera ia turun.
"Thanks, Yo! Hati-hati lo pulang," kata Mario lalu membuka pagar yang tak digembok kemudian berlari ke dalam rumah.
"Mida, Akila mana?" Mario berhenti di depan sofa, menatap Denada yang tengah duduk sambil menyeka matanya yang berair. Denada menangis.
"Mario, akhirnya kamu pulang. Akila ada di kamar ... Mida nggak tau lagi harus gimana sekarang ...," tangisnya pecah mengingat putri kesayangannya tak pernah keluar kamar semenjak hari itu.
"Mida tenang, jangan nangis." Mario berusaha menenangkan Denada lalu bergegas menaiki anak tangga.
Setiba di depan pintu kamar Akila, Mario langsung mengetuk pintu berkali-kali.
"Akila, Kakak sudah pulang," panggilnya.
"Akila, ini Kak Mario," panggilnya lagi.
Tak ada sahutan dari dalam membuat tenggorokan Mario terasa tercekat. Tak ingin menunggu lama, ia pun mendobrak pintu sekencang mungkin dan berhasil terbuka.
"Akila!" Mario berlari mendekat ke kasur.
"Adek ... kenapa?" Mario terduduk di kasur melihat Akila terbaring tak berdaya. Wajahnya pucat pasi dengan ujung mata berair.
"Dek ... Kak Mario udah pulang," suara Mario gemetar lalu membawa tubuh Akila ke dalam dekapannya.
Detik itu juga, kedua mata Akila terbuka. Bibirnya yang pucat pasi bergerak pelan. Matanya yang sayu pun kembali berair.
"Kak Mario," lirihnya lemah.
"Iya, Dek, ini Kak Mario ... Adek kenapa, hm? Kenapa jadi gini? Kenapa ngurung diri di kamar?" tanya Mario. Suaranya semakin gemetar menahan air mata.
"Kak Mario ... maafin Akila, ya ... bilang sama Mami ... sama Papi ... Akila sayang mereka berdua," katanya susah payah kemudian matanya terpejam.
"Dek! Adek!" panggil Mario.
Denada menangis kencang di depan pintu kamar. Ia sengaja tak masuk agar Mario bisa membujuk Akila. Tapi ketika melihat putrinya kehilangan kesadaran, ia pun meraung kencang.
"Mida, jangan nangis. Akila biar Mario bawa ke rumah sakit. Mida tenang, jangan nangis," kata Mario lalu bergegas membawa Akila keluar kamar.
Setiba di tangga Mario berpapasan dengan Aditama. "Om, kita ke rumah sakit sekarang," katanya tergesa.
"Papi ... Akila ...," tangis Denada semakin menjadi. Dia berlari menyusul Mario yang berlari menuju garasi.
"Mami tenang, jangan menangis!" Aditama berlari mendahului Mario kemudian membukakan pintu mobil.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm Not A Narsis Baby (TERBIT)
Teen FictionFOLLOW SEBELUM MEMBACA KARENA SEBAGIAN CERITA DI PRIVATE! JANGAN TUNGGU SAMPAI ENDING, NANTI NYESEL🥵 Ini bukan kisah tentang Cinderella yang kehilangan sepatu kaca atau pun kisah seorang nerd girl yang bertemu pria kaya raya. Ini hanyalah kisah Ru...