Langit malam mulai menggelap. Rintik hujan perlahan turun membasahi bumi. Seorang anak laki-laki yang duduk di balkon kamar tak beranjak barang sejenak meski tempias mulai menyapa permukaan kulit wajahnya.
Dia Langit Arshaka. Sudah dua hari ia berada di rumah setelah keluar dari rumah sakit. Daniel — papanya memberitahu wali kelasnya dan ia mendapat cuti beberapa hari ke depan. Tapi, Langit tak akan membuang waktu cuma-cuma, dengan berada di rumah berhari-hari.
"Bila waktu terus memanggil agar dua hati dapat menyatu ...."
"Bukan aku tak ingin cinta ... tapi aku takut menyakitimu ...."
Ketukan dari pintu kamar membuat Langit berhenti memetik gitar. Ia geser tirai yang ada di depannya dengan mata tertuju pada pintu.
"Langit, sudah makan, Nak?"
Langit langsung berdiri dan berjalan masuk ke dalam kamar. Ia bergegas membukakan pintu kamar karena papanya sudah pulang dari kantor. Bisa ia tebak jika pria itu membawakannya sesatu.
"Papa bawain kamu martabak telor," kata Daniel sembari mengangkat ke atas bingkisan yang ia bawakan untuk putra kesayangan.
"Nggak perlu repot-repot gini, Pa. Langit bisa beli sendiri. Kasian Papa, pasti capek bolak balik kantor cuma beliin makanan buat Langit," katanya tak enak hati.
Daniel berdecak lalu merangkul pundak putranya untuk ia bawa berjalan menuju meja makan.
"Selagi ini untuk kamu, Papa nggak akan ngerasa capek. Yang terpenting kamu makan dengan teratur. Cuma ini yang bisa Papa lakukan untuk kamu," katanya sembari mendudukkan Langit di kursi.
"Tapi Langit nggak mau Papa capek bolak balik dari kantor ke rumah," katanya dengan wajah murung. Selama ini, Daniel sudah menjadi pahlawan terhebat dalam hidupnya. Langit tak membutuhkan apa pun lagi selain kesehatan papanya terjaga.
Daniel mengabaikan perkataan putranya dan mengambil mangkok untuk menaruh martabak. Setelah itu ia duduk di depan Langit dan menghidangkan makanan tersebut.
"Kamu jangan pikirin kesehatan Papa. Papa ini kuat kalau kamu sehat. Lagi pula bolak balik kantor ke rumah nggak sulit, Papa kan, pake mobil."
"Tetep aja, Pa. Langit udah gede, Langit udah dewasa. Langit bisa beli keluar kalo Langit lapar, Langit juga bisa masak sendiri kalo mau sesuatu." Langit mengambil sendok di depannya.
"Sudah, sudah, mending langsung di makan. Kamu itu meski sudah besar, tapi kamu tetap anak kecilnya Papa. Kemarin-kemarin masih ingusan," katanya sambil tertawa.
Langit mendengus lalu melahap makanan yang ada di depannya. "Papa nggak ikutan makan?" tanya Langit disela kunyahan.
"Papa sudah makan," jawab Daniel.
Langit mengangguk-angguk sembari menikmati makanan di depannya. Sejenak, ia tatap lekat wajah Daniel. Ia teringat akan satu hal kala ia berada di rumah sakit.
"Kenapa, Nak?" tanya Daniel.
Langit diam sejenak kemudian bibirnya bergerak mengatakan sesuatu, "Papa nggak marah kan, sama Akila?" tanyanya pelan. Entah kenapa, ia khawatir jika sampai Daniel membenci gadis narsis itu karena kejadian tersebut.
Daniel menatap wajah putranya lama. "Kenapa? Kamu khawatir atau takut Papa nggak ngasih restu buat deket sama putri Aditama itu?" jawabnya, berniat menggoda putranya.
Langit berdecak malas lalu meneguk air. "Bukan itu, Pa, Langit cuma nanya. Lagi pula, dia nggak sengaja."
"Papa nggak marah. Hanya saja, Papa sangat khawatir." Daniel berkata.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm Not A Narsis Baby (TERBIT)
Teen FictionFOLLOW SEBELUM MEMBACA KARENA SEBAGIAN CERITA DI PRIVATE! JANGAN TUNGGU SAMPAI ENDING, NANTI NYESEL🥵 Ini bukan kisah tentang Cinderella yang kehilangan sepatu kaca atau pun kisah seorang nerd girl yang bertemu pria kaya raya. Ini hanyalah kisah Ru...