24. Perahu Kertas

11.9K 977 1.1K
                                    

Langit menggeser semua buku bacaan yang menumpuk di atas meja belajarnya ke pinggir meja. Kacamata baca yang semula ia kenakan ia lipat kemudian menaruhnya ke tempat semula.

"Akila baik-baik aja. Kak Langit pulang, ya, sudah malam. Akila capek, mau bobok."

Langit mengusap pelan wajahnya. Akila menolak untuk berbicara dengannya, hal itu membuat Langit bertambah gusar. Tak ada pilihan lain di saat itu, Langit memilih untuk kembali ke rumah dan merenung.

Pikiran-pikiran buruk mulai menghampiri di setiap waktu. Bayangan papanya menunjukkan raut kecewa, berbagai tanggapan dan bisik anak-anak yang melihat kejadian malam itu. Langit tak pernah siap jika hal itu terjadi padanya.

"Gue nggak tau apa-apa," ujar Langit dengan suara berat. Kesekian kali ia mengusap wajah dan mengembuskan napas panjang.

"Seandainya gue beneran lakuin itu, gimana sama Akila? Gimana kalo ...." Langit menunduk dan tak sanggup melanjutkan perkataannya.

"Gue bego banget! Lo bego, Ngit!" Langit memaki dirinya kemudian menampar wajahnya berkali-kali. Ia benar-benar kalut saat ini.

Langit bangkit berdiri dengan raut wajah yang semakin murung. Langkah kaki membawa dirinya menuju kasur kemudian terduduk di sana.

"Andai aja gue nggak pergi ke pesta, mungkin semua ini nggak akan pernah terjadi ... gue bener-bener udah salah jalan, gue udah renggut masa depan seseorang."

Langit merebahkan diri ke kasur. Tatapan matanya beralih pada sebuah kanvas yang ada di dinding. Wajahnya perlahan tertekuk sedih melihat sebuah lukisan bunga mawar, milik mamanya.

"Langit udah bikin masa depan seseorang hancur, Ma ... seseorang yang pernah dateng ke makam Mama di hari itu. Seseorang yang bawain Mama bunga mawar paling cantik." Langit mengalihkan pandangan ke arah lain kala bola matanya memerah.

"Liat dia senyum begitu bikin Langit semakin merasa bersalah ... Kenapa dia masih bisa senyum setelah apa yang udah Langit lakuin pas enggak sadar ... Langit bener-bener kacau sekarang."

Langit menghela napas berat sembari menggosok kedua matanya dengan punggung tangan.

"Gimana sama hari esok?" Langit bertanya pada diri sendiri. Akankah masih sama seperti hari-hari lalu?

Bayangan serta tangisan Claudia perlahan menelusup ke dalam benak kepala. Tak hanya itu, kemarahan Alfan pun membuat Langit semakin pening. Kenapa semuanya bertambah rumit? Semuanya terjadi diluar kendalinya.

Langit bergeser lalu meraih guling. Ia rebahkan badan dengan mata tertuju pada langit-langit kamar. Berharap, hari esok masih sama, tak ada yang berubah.

"Besok kita masih bisa bicara kan, Bayi Narsis?" tanya Langit dengan kedua mata mulai terpejam.

"Jangan pura-pura senyum kalo lo benci!"

***
Angin malam berembus menerbangkan helaian rambut seorang gadis yang berdiri di balkon kamar dengan tatapan hampa.

"Semuanya bakal baik-baik aja." Akila menyingkirkan anak rambut yang mulai menutupi sebagian wajahnya.

Semenjak dari pesta, ia belum bisa memejamkan mata, padahal malam telah larut. Pikirannya terbang kian kemari, memikirkan semua kejadian di pesta.

"Kak Langit lagi apa ya, sekarang? Masih belajar atau udah tidur? Maafin Akila ya, Kak Langit ... Akila nolak untuk bicara." Akila mengembuskan napas pelan.

Akila mengusap lengannya yang berbalut piyama motif strawberry. Mendengar klakson dari arah pagar membuat Akila menoleh dan menyipitkan mata.

"Papi Mami udah pulang," ujarnya lalu berbalik badan dan kembali ke kamar.

I'm Not A Narsis Baby (TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang