Hujan terus mengguyur Kota Jakarta. Permukaan air terlihat mulai menggenang dan naik sampai menyentuh bibir lantai halte yang mereka tempati. Akila bergeming di tempat. Sorot matanya tertuju pada ranting tanaman yang ada di seberang jalan, bergerak dan nyaris patah diterjang air yang turun dari langit.
Tidak ada obrolan dari beberapa menit yang lalu. Langit ada di samping Akila. Sesekali terdengar helaan napas yang berat, keluar dari bibir cowok itu. Sesekali pula Langit mengusap wajah. Entah karena gelisah hujan yang tak kunjung reda atau ada sesuatu yang mengusik benak kepala anak lelaki itu. Entahlah.
Kak Langit belum selesai sama masa lalu?
Pertanyaan Akila yang kesekian kalinya mengambang begitu saja di udara tanpa adanya jawaban. Akila juga tak tahu kenapa pikirannya tertuju pada pertanyaan yang sepertinya dibenci oleh Langit. Sebisa mungkin, Akila menyingkirkan tentang hal yang tak seharusnya ia pertanyakan.
"Bayu sama Alfan mana, sih?" Setelah lama mengamati jalanan yang semakin menggelap, akhirnya Langit bersuara. Kehadiran Alfan dan Bayu yang ia tunggu sedari tadi belum menunjukkan tanda-tanda.
"Coba Kak Langit telpon." Akila menatap Langit. Cowok itu pun meraba saku celana serta hoodie yang dikenakannya.
"Hape gue dalem mobil," jawabnya.
Akila juga ikut meraba seragamnya. "Hape Akila juga enggak kebawa. Mungkin di kelas kali ya .... apa di mobil Kak Langit?" Akila menggaruk pelipisnya bingung.
Langit mendengus. "Barang sendiri aja lupa naroh di mana. Sok an mau pacaran," sindirnya.
Akila menampilkan cengiran lalu mencubit lengan Langit, tak kencang. "Kalo pacar pasti inget dong, Kak Langit Sayang. Pacar itu selalu ada di hati sama pikiran."
"Jangan panggil Sayang." Langit membuang pandangan ke arah lain.
"Apa salahnya? Akila suka banget manggil Kak Langit pake Sayang. Boleh ya, Akila panggil Sayang aja? Janji deh, cuma kita berdua aja yang tau." Akila membujuk Langit sembari menangkupkan kedua tangan.
"Nggak mau!" Langit menatap Akila tajam.
"Iya iya, enggak lagi." Akila cengengesan.
Langit berdiri lalu melangkah ke depan. Tangannya terulur menyentuh air hujan kemudian mendongak ke atas. Sepertinya cuaca semakin gelap, tak tahu kapan hujan akan berhenti. Sementara mobilnya masih terparkir di pinggir jalan dalam keadaan mati. Alfan dan Bayu pun belum kembali untuk menjemputnya dan Akila.
Langit tahu jika Akila mulai kedinginan. Jemari gadis itu memucat. Tanpa membuang waktu, Langit berlari menerobos hujan menuju mobilnya.
"Kak Langit, Akila ikut." Akila langsung berlari mengejar Langit yang berada di depannya. Tanpa memperdulikan seragam dan rambutnya yang kian basah.
"Lo ngapain ikut?" Langit geram. Setelah mengambil ponselnya ia menarik pergelangan Akila lalu membawanya berlari menuju halte untuk berteduh kembali.
"Akila kira Kak Langit mau main hujan." Akila menampilkan cengiran sambil memeluk tubuhnya yang sekarang mulai menggigil. Dinginnya guyuran hujan serta tiupan angin terasa menusuk kulit sampai ke tulang.
Langit tak memperdulikan jawaban Akila. Ia memilih menghubungi Pak Sandono-Sopir pribadi papanya. Berselang detik panggilannya diterima oleh pria paruh baya itu. Segera mungkin Langit mengatakan tujuannya, minta dijemput. Setelah itu, Langit kembali duduk.
"Lo ngapain masih berdiri di situ? Mau jadi satpam dadakan?" tanya Langit pada Akila. Namun, gadis itu tak merespons. Entah suaranya yang tersamar oleh percikan air hujan atau Akila sengaja menulikan pendengaran.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm Not A Narsis Baby (TERBIT)
Teen FictionFOLLOW SEBELUM MEMBACA KARENA SEBAGIAN CERITA DI PRIVATE! JANGAN TUNGGU SAMPAI ENDING, NANTI NYESEL🥵 Ini bukan kisah tentang Cinderella yang kehilangan sepatu kaca atau pun kisah seorang nerd girl yang bertemu pria kaya raya. Ini hanyalah kisah Ru...