“Tidak semua anak memiliki tempat pulang, bahkan rumahnya sendiri.”
Tulisan yang baru saja Claudia baca di mading sekolah membuat hatinya berdenyut perih. Ia benci kalimat yang baru saja ia lihat namun hal tersebut sangat nyata dalam hidupnya. Memang, rumah bukanlah tempat untuk dirinya pulang. Bahkan ia tak tahu ke mana ia harus pulang dan arah mana yang seharusnya ia tuju.
Tak ada tujuan hidup, itulah yang Claudia rasakan setiap harinya. Menjadi boneka kedua orang tuanya membuat raganya lelah. Kini, ia menyerah. Benar-benar menyerah.
Claudia menyeka ujung matanya yang basah. Ia tak lagi menyalahkan keadaan, ia tak lagi menyalahkan orang sekitar. Yang harus ia salahkan di dunia ini adalah diri sendiri. Ia benci ada.
Memar di tangan membuat pergerakan Claudia terhenti. Ia pandangi luka itu sejenak. Luka yang ia dapat ketika papa dan mamanya menyeretnya sebegitu kuat lalu menguncinya di gudang belakang karena ia menolak kemauan dua orang itu untuk menemui keluarga laki-laki pilihan orang tuanya. Menyebalkan sekali bukan?
"Clau, dateng sama siapa?"
Claudia buru-buru menutupi pergelangan tangannya lalu menoleh ke samping. Ia dapati Alfan yang tengah memeluk gitar kesayangannya sembari menunggu jawaban darinya.
"Dianter sama sopir," jawab Claudia dengan seutas senyum. Matanya bergerak, memperhatikan penampilan Alfan yang begitu menenangkan untuk dipandangi, terlebih lagi dua mata teduh cowok itu.
"Gue kira lo nggak dateng." Alfan berjalan ke depan Claudia lalu berjongkok di depan gadis itu yang masih duduk di kursi roda.
Claudia menunduk, memperhatikan Alfan yang membenarkan tali sepatunya yang entah sejak kapan lepas. Entah kenapa, setiap mendapat perhatian dan perlakuan kecil seperti itu membuat dada Claudia menghangat.
"Gue anter ke kelas." Alfan berkata.
"Makasih, Fan."
Alfan mendorong kursi roda Claudia menuju ruang kelas yang ada di ujung lorong. Sepanjang perjalanan menuju kelas, keduanya hanya saling diam. Bukan Claudia sengaja mendiamkan Alfan melainkan tak ada obrolan di antara dirinya dan laki-laki itu.
Masih terlalu pagi ketika ia berangkat. Memang, Claudia sengaja datang ke sekolah lebih awal agar bisa menghirup udara segar dan menikmati tenangnya lingkungan sekolah dan cuitan burung gereja kala anak-anak belum berdatangan.
"Bokap nyokap lo masih bahas tentang perjodohan nggak masuk akal itu?"
Claudia mengiyakan. "Masih, bahkan mungkin sampai kiamat. Aku nggak ngerti, kenapa Papa dan Mama terus perlakuin aku kayak begini ...." Suara Claudia mengecil di akhir kalimat.
"Aku punya hak untuk menolak apa yang nggak aku suka. Tapi semuanya percuma kalo keputusan keduanya udah bulat. Aku nggak pernah diberi satu kali pun pertanyaan ... apa kamu suka dengan pilihan Papa Mama ... apa kamu senang dengan semuanya?"
Claudia membiarkan air matanya turun membasahi jemarinya. Semakin dipendam rasanya semakin sesak. Ia selalu berusaha tegar, selalu berusaha kuat namun matanya tak bisa diajak bekerjasama.
"Aku beneran capek sama semuanya." Claudia mengepalkan tangan kemudian menyeka air matanya yang terlalu banyak tumpah. Menyedihkan.
Alfan berhenti mendorong kursi roda setiba di tempat tujuan lalu merunduk, menatap kedua bola mata Claudia yang bergetar menahan tangis serta kulit wajah Claudia yang memerah.
"Apapun yang membuat lo sakit dan capek, tetap bertahan ya, Clau! Percaya sama gue ... hari bahagia itu akan datang." Alfan menampilkan senyum simpul kemudian berdiri sambil mengacak puncak kepala Claudia.
![](https://img.wattpad.com/cover/333629675-288-k172705.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm Not A Narsis Baby (TERBIT)
Teen FictionFOLLOW SEBELUM MEMBACA KARENA SEBAGIAN CERITA DI PRIVATE! JANGAN TUNGGU SAMPAI ENDING, NANTI NYESEL🥵 Ini bukan kisah tentang Cinderella yang kehilangan sepatu kaca atau pun kisah seorang nerd girl yang bertemu pria kaya raya. Ini hanyalah kisah Ru...