Langkah kakinya yang baru saja keluar dari mobil melambat kala melihat seorang gadis dengan ransel pink di punggung. Dia semakin terlihat berbeda seminggu ini. Tak ada amplop pink di dalam loker, tak ada serangkaian kalimat menggelikan yang belakangan ini sempat ia baca kala membuka roomchat di ponsel termasuk tak ada suara cempreng yang mengisi pendengarannya sambil melambaikan tangan disertai cengiran lebar.
"Akila, tugas Matematika lo udah siap?"
"Udah, Akila kerjain semalam."
"Boleh gue pinjem? Gue belum kelar."
"Santai, nyampe kelas Akila kasih contekan."
Langit masih bergeming di tempat melihat interaksi gadis itu dengan seorang anak laki-laki yang sepertinya satu kelas dengan Akila. Matanya terus mengawasi hingga keduanya menghilang dibelokan.
Harusnya ia senang. Tapi Langit tak bisa terus-terusan membohongi diri jika ia merasa ada yang kurang dari hari-harinya seminggu ini. Ada rasa mengganjal di dalam dada kala gadis itu semakin menghindarinya. Ada apa ini sebenarnya dengan dirinya?
"Woi, pagi-pagi udah bengong aja!" Bayu menepuk lengan Langit membuat sang empu terkejut bukan main. Dia datang bersama Alfan.
Alfan tertawa melihat raut terkejut Langit sambil menaruh gitar ke pangkuannya. Sepertinya telah terjadi sesuatu pada temannya itu. Namun Alfan pura-pura tak peduli.
"Tumben banget lo bengong pagi gini. Mikirin anak istri di rumah?" katanya bercanda lalu meninggalkan Langit yang dirangkul oleh Bayu, meninggalkan parkiran.
Bayu tertawa. "Jangan dulu deh, Ngit. Masa depan kita masih panjang," ujarnya membuat Langit mendengus tak suka.
Langit mengedarkan pandangan mencari sosok gadis yang ia lihat sebelumnya. Tak ada. Apakah sudah sampai di kelas?
"Shit! Kenapa gue jadi gini," gumamnya.
"Kenapa Ngit? Lo bilang apa barusan?" Bayu mendekatkan telinga ke wajah Langit. Alhasil didorong kasar oleh Langit.
"Ketek lo bau jigong!" Langit bergegas menjauh dari Bayu. Anak itu selalu suka mengganggu dan merecokinya.
Bayu berhenti melangkah dan mencium lengan seragam yang di dekat ketiaknya. Ia endus berkali-kali lalu menatap punggung Langit yang berjalan tergesa.
"Bau jigong pala lo, Ngit! Wangi gini padahal," katanya dengan suara kencang lalu berlari mendekat pada Alfan dan Langit.
Langit mengabaikan perkataan Bayu, berbeda dengan Alfan yang melempar cengiran pada Bayu seakan ikut meledek temannya itu.
"Coba lo cium, Fan! Beneran wangi, Njir!" Bayu mengangkat tangannya ke atas dan mendekatkan ketiaknya pada Alfan.
"Ogah! Dikasih endorse bayaran gede buat nyium ketek, nggak bakal mau gue!" Alfan mendorong Bayu menjauh darinya.
Bayu berdecak kemudian merapikan seragamnya. Tak ada yang mau mencium aroma keteknya membuatnya mendelik tajam pada Alfan yang tertawa singkat. Anak itu pasti masih meledeknya.
"Lo sama Langit sama-sama temen fake! Nggak mau nyium ketek temen sendiri."
Alfan menulikan pendengaran. Lagi pula, spesies mana yang suka menghirup aroma ketek. Digaji besar pun, tak akan ia lakukan.
"Kak Alfan!"
Alfan berhenti melangkah lalu menoleh ke belakang. Senyumnya menyungging tipis kala melihat Akila berjalan sambil melambaikan tangan padanya.
Langit ikut memutar badan dengan Bayu. Kedua bola matanya bergerak menatap gadis itu yang berjalan menuju temannya.
"Kak Alfan, Akila bawain ini." Akila memberikan sekotak mochi ke tangan Alfan. Ia tampilkan senyum manis dan berusaha keras agar tak menatap Langit.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm Not A Narsis Baby (TERBIT)
Teen FictionFOLLOW SEBELUM MEMBACA KARENA SEBAGIAN CERITA DI PRIVATE! JANGAN TUNGGU SAMPAI ENDING, NANTI NYESEL🥵 Ini bukan kisah tentang Cinderella yang kehilangan sepatu kaca atau pun kisah seorang nerd girl yang bertemu pria kaya raya. Ini hanyalah kisah Ru...