Setelah memarkirkan mobil, Akila melangkah lesu menuju pintu rumah. Saat pintu ia buka, tatapan penuh amarah ia dapat dari Denada yang duduk di sofa. Ada papinya juga di sana, Aditama.
"Tadaimaa," ujar Akila lalu berjalan menunduk dan melewati kedua orang tuanya yang hanya diam.
"Sudah bikin malunya?" Denada mengeraskan suara buat langkah kaki Akila terhenti lalu berbalik menatapnya.
"Maafin Akila, Mami," lirih Akila.
"Maaf? Sudah terjadi begini baru kamu minta maaf? Kamu sadar apa yang kamu lakuin ini? Aib Akila! Mami Papi malu di depan kepala sekolah kamu, di depan guru-guru lain, di depan semua orang!"
"Apa-apaan kamu begini! Mami capek-capek kerja sama Papi demi kebahagiaan kamu! Papi Mami bahkan kerja sampai larut malam itu demi kamu! Tapi ini yang kamu lakuin di sekolah? Pikir Akila! Pikir!" tekannya dengan nada tinggi.
"Kamu bukan anak kecil lagi yang nggak bisa berpikir! Gunain otak kamu! Gunanya lakuin hal memalukan itu untuk apa? Dari mana kamu belajar jebak-jebak anak orang begitu? Asal kamu tau! Mami malu sama Daniel, sama Papa Langit! Apa kamu tau itu? Seorang anak gadis begini nekat lakuin hal di luar nalar orang dewasa!"
"Mami, sudah," ujar Aditama. Meski ia juga merasa kecewa pada putrinya, namun ia tak begitu tega memarahinya sedemikian, seperti yang dilakukan oleh istrinya.
Akila menunduk, membiarkan air matanya jatuh membasahi pipi. Ini pertama kali Denada memarahinya seperti ini.
"Kenapa kamu diam saja? Jawab Mami Akila! Apa yang ada di kepala kamu sampai lakuin hal ini? Kamu mau berhenti sekolah? Iya? Dengan senang hati Mami ngabulin itu," ujar Denada dengan emosi memuncak.
Akila menggeleng dan tersedu. "E-enggak, Mami ...."
"Sudahlah, Mi, kasihan putri kita. Biarin Akila ganti seragam dan makan dulu." Aditama berusaha melerai.
"Jangan terlalu memanjakan dia, Pi! Ini semua karena Mario, dia selalu manjain anak ini sampai nggak bisa mikir. Tanpa rasa bersalah dia perlakuin kita seenaknya begini sementara nanti Daniel mau kerjasama sama perusahaan kita."
Akila semakin tersedu lalu mengusap kasar air matanya. Ia tatap nanar kedua orang tuanya dengan perasaan semakin bersalah.
"B-bukan Kak Mario yang bikin Akila begini, jangan bawa-bawa Kak Mario. Maaf udah bikin Mami Papi malu di depan semua orang ... Mami berhak marah sama Akila," isaknya tersedu.
"Sejauh ini, ini pertama kalinya Mami kecewa sama kamu. Mami pikir kamu sekolah dengan benar makanya kita berdua semangat kerja, taunya kamu begini. Mau taroh di mana muka Mami Papi?" tanya Denada. Sorotnya masih tajam.
"Dan kamu tau, setelah ini entah berani atau tidak Papi Mami nemuin Daniel buat ngomongin kerjasama perusahaan. Semuanya rusak karena kamu. Keluarga kita bakal canggung sama mereka."
Aditama mengembuskan napas berat lalu berjalan mendekat pada putrinya. Ia merasa kasihan pada Akila yang menangis tersedu. Bagaimana pun kesalahan yang telah dibuat, Akila tetaplah putri kesayangannya.
"Jangan manjain dia, Papi!" tegur Denada.
"Maafin ... Akila udah bikin Papi Mami malu dan kalian emang pantas benci dan kecewa sama Akila," isak Akila lalu berlari ke kamar.
"Akila, Papi Mami nggak benci kamu, Sayang," ujar Aditama. Ia menatap punggung Akila yang semakin jauh berlari menaiki anak tangga.
"Biarkan saja dia, Pi. Mami nggak habis pikir, dia nekat lakuin hal begini." Denada memijit pelipisnya.
"Mi, jangan terlalu keras sama Akila. Kasian dia. Meski dia lakuin kesalahan begitu tapi kita nggak seharusnya kasar begini." Aditama mendudukkan diri di sofa.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm Not A Narsis Baby (TERBIT)
Teen FictionFOLLOW SEBELUM MEMBACA KARENA SEBAGIAN CERITA DI PRIVATE! JANGAN TUNGGU SAMPAI ENDING, NANTI NYESEL🥵 Ini bukan kisah tentang Cinderella yang kehilangan sepatu kaca atau pun kisah seorang nerd girl yang bertemu pria kaya raya. Ini hanyalah kisah Ru...