Denada mondar mandir di depan pintu kamar putrinya sedari tadi. Semenjak hari itu, Akila tak pernah keluar kamar. Ia mendadak cemas pada anak semata wayangnya itu. Makanan yang ia siapkan untuk Akila sarapan dan makan malam tak tersentuh sedikit pun. Kejadian itu berkali-kali ia lihat sepulang kerja.
"Akila, kamu baik-baik aja, Sayang?"
"Mami khawatir sama kamu, Nak."
Denada mengetuk pintu kamar berkali-kali, tak ada sahutan dari dalam atau pun gagang bergerak, dibuka oleh Akila. Air mata yang sedari ia tahan akhirnya luruh begitu saja.
"Akila Sayang, buka pintunya. Mami khawatir sama kamu, Nak. Akila udah makan? Ayo keluar, Sayang," panggilnya yang kesekian kali.
Aditama yang baru saja selesai mandi dan berganti pakaian pun bergegas menuju kamar Akila. Ia juga melakukan hal yang sama, memanggil putrinya berkali-kali.
"Akila, ayo keluar, Sayang. Papi Mami sangat khawatir sama keadaan kamu," katanya dengan raut cemas.
Denada menangkup wajahnya yang basah. "Kita harus gimana? Mami takut Akila kenapa-kenapa. Nggak biasanya Akila ngurung diri selama ini ... Mami takut, Mami cemas," isaknya.
Aditama mengembuskan napas berat lalu mengusap pundak istrinya.
"Mario bilang apa tadi? Dia bisa pulang untuk sementara waktu?" kata Aditama.
Denada mengangguk sembari mengusap air matanya. Tak ada pilihan lain selain meminta Mario kembali ke Jakarta dan membujuk putrinya agar mau keluar kamar.
"Mario langsung ngurus tiket pulang," jawabnya pelan.
Aditama kembali mengetuk pintu. Tak ada jawaban dari dalam membuat ia menurunkan tangan lalu mengacak rambutnya gelisah.
"Hari itu Papi sudah bilang, tapi Mami masih aja ngelampiasin emosi sampai bentak-bentak Akila. Kita tau putri kita yang salah tapi tidak seharusnya dihakimi begitu, Mi ... Diluar sana putri kita pasti juga dijauhi temannya, seharusnya kita mengulurkan tangan untuk narik putri kita ke dalam pelukan dan ngasih tau dengan cara baik kalau yang dia lakukan itu salah, sangat salah," kata Aditama.
"Ada banyak cara buat menyalurkan bagaimana kecewanya kita, bagaimana marahnya kita kepada Akila tanpa ngebentak dan memarahi dia."
Denada mengangguk-angguk dengan wajah semakin basah. "Mami yang salah, Pi ... Mami yang nggak dengar perkataan Papi ... Mami lupa kalau putri kita tak biasa dimarahi, dibentak ...," isaknya.
Aditama bersandar ke pintu dengan helaan napas semakin berat. Ia merasa gagal menjaga putrinya.
"Mami ingat dulu saat Akila sakit, kita berjanji tak akan memarahi dia, akan selalu menyayangi dia. Mario pun demikian. Semua keinginan Akila Mario kabulkan, apa-apa dituruti, apa-apa dibelikan meski tempatnya jauh," ujarnya.
Denada mengangguk dan kembali ingat saat putrinya berusia 13 tahun mengalami demam tinggi, harus dirawat seminggu lebih di rumah sakit. Saat itu harapan dan keinginan ia langitkan untuk melihat putrinya kembali ceria dan berjanji akan menjaganya dengan baik dan menyayanginya.
"Maafin Mami, Pi," lirihnya.
"Sudah Mi, jangan menangis lagi."
Denada mencoba mengetuk pintu kamar kembali. "Akila Sayang, kamu baik-baik saja kan, Nak? Kamu sudah makan?"
"Udah, Mami."
Air mata Denada semakin turun deras mendengar suara Akila dari dalam sana.
"Akila kenapa nggak keluar kamar? Sarapan sama makan malam yang Mami bikinin kenapa nggak di makan? Mami sama Papi khawatir sama kamu," katanya terisak.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm Not A Narsis Baby (TERBIT)
Teen FictionFOLLOW SEBELUM MEMBACA KARENA SEBAGIAN CERITA DI PRIVATE! JANGAN TUNGGU SAMPAI ENDING, NANTI NYESEL🥵 Ini bukan kisah tentang Cinderella yang kehilangan sepatu kaca atau pun kisah seorang nerd girl yang bertemu pria kaya raya. Ini hanyalah kisah Ru...