Hari bahagia telah usai. Akila berpijak pada lantai bandara bersama laki-laki yang sebenarnya tak ingin ia lepas kepergiannya. Mulai hari ini dan kedepannya, ia akan sendiri lagi seperti sebelumnya.
Hari-hari kemarin terasa begitu menyenangkan. Duduk berdua di pinggir sungai, bersepeda, membuat strawberry coklat lalu bercerita tentang banyak hal meski rasa senang itu terkadang ia tutupi.
Waktu tak bisa di jeda. Akila menguatkan diri agar air matanya tak tumpah saat pesawat lepas landas nantinya. Satu hal yang pasti, perasaannya tak akan berubah meski jarak kembali menjadi pemisah. Disini ... ia ingin menemani Mario, sepupunya.
"Bayik, ayo, bertemu lagi nanti."
Langit merangkul Akila dengan senyum hangat meski perasaannya terasa tak baik dari semalam karena perpisahan yang akan dihadapi. Sorot sendu yang Akila tampilkan hari ini, ia sangat mengerti.
"Waktu terasa cepat berlalu ya, Kak Langit. Huft ... Akila jadi sedih karena kedepannya udah nggak ada Kak Langit di sini." Akila tersenyum getir.
Langit terkekeh lalu mengacak puncak kepala Akila karena gemas.
"Jangan sedih, gue bakal ngabarin lo setiap saat. Jaga diri ya, Bayi Narsis. Satu hal yang pasti, perasaan ini tetap untuk lo."
Akila menunduk, membiarkan air matanya jatuh begitu saja. Begitu sesak dan pengap untuk di tahan. Ya, ia memang cengeng jika itu menyangkut tentang perasaan. Di sisi lain, ia membiarkan perasaan Langit mengambang begitu saja tanpa memberi jawaban meski hatinya sudah memilih.
"Sampai hari ini, Akila belum ngasih jawaban," lirihnya lalu mengangkat wajah menatap Langit dengan lekat.
"Gue masih menunggu," ujar Langit dengan senyum tulus. "Selama apa pun itu, akan tetap gue tunggu. Sekali lagi, Rubiana Akila, hati ini milik lo."
Tangis Akila pun pecah. Ia menghambur ke dalam pelukan Langit. Sementara Langit terkekeh dan mengusap punggung gadis itu.
"Bayi Narsis benar-benar cengeng," ujarnya.
Akila mengurai pelukan. "Maaf, Kak Langit." Akila sadar, tak seharusnya ia begini. Bagaimana pun juga, Langit punya kehidupan di Jakarta.
"Nggak perlu minta maaf, Bayik."
Akila terdiam lalu mengajak Langit untuk duduk di bangku besi. Sebentar lagi jadwal keberangkatan pesawat yang ditumpangi Langit akan segera tiba. Rasanya ... Akila belum siap, ia masih ingin bersama Langit di sini, menghabiskan waktu.
"Jakarta sepi nggak ada lo," akunya jujur.
Akila terkekeh menanggapi perkataan Langit. Ia pun mengalihkan pandangan ke depan, menatap banyak orang yang berlalu lalang sambil mengobrol.
"Kak Langit," panggil Akila pelan.
"Hm? Kenapa Bayik?"
Akila meremas pelan jemarinya. Tiba-tiba ia mendadak gugup. Tak ada waktu lagi untuk menunda ... ini impiannya sedari dulu. Ia ingin menjadi satu-satunya di hati Langit.
"Kak Langit bisa ngulang kata yang waktu itu?" tanya Akila semakin berdebar.
Langit sejenak berpikir. "Kata yang mana?"
"Tentang perasaan Kak Langit di hari itu."
Perlahan Langit mengerti. Melihat raut gugup Akila membuatnya sedikit tertawa.
"Will you be my girlfriend?" tanya Langit.
Akila mengangguk cepat. Ia tak bisa menyembunyikan perasaannya untuk lebih lama lagi. Ia tak bisa menghindar dan berpura-pura lagi. Sakit, jika terus ditahan di saat hatinya sedari lama menginginkan laki-laki di sampingnya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm Not A Narsis Baby (TERBIT)
Teen FictionFOLLOW SEBELUM MEMBACA KARENA SEBAGIAN CERITA DI PRIVATE! JANGAN TUNGGU SAMPAI ENDING, NANTI NYESEL🥵 Ini bukan kisah tentang Cinderella yang kehilangan sepatu kaca atau pun kisah seorang nerd girl yang bertemu pria kaya raya. Ini hanyalah kisah Ru...