18. Fireflies and You

14.1K 1.2K 1.6K
                                    

HALO, SEMUANYA!!

JUMPA LAGI SAMA AKU NIH^^

SAPA AKU SESUAI ZODIAK KALIAN :

WARNA KESUKAAN KALIAN :

SPAM EMOT 💛 UNTUK AKU :

INISIAL CRUSH KALIAN APA HAYO 🤭 :

SIAP UNTUK MEMBACA KELANJUTANNYA?

SIAP ATAU ENGGAK?

PASTINYA SIAP DONG!! ^^

SEBELUM BACA WAJIB VOTE!

PENCET BINTANG DI POJOK KIRI SEKARANG JUGA!!

Happy reading, Macaagengs!!

***
Alfan mengajak Akila untuk mampir ke taman sebelum dia antar pulang. Suasana hati gadis itu saat ini sedang tak baik-baik saja, ada baiknya ia beri ruang untuk Akila meluapkan kesedihannya. Entah itu dengan cara berdiam diri atau bercerita lagi padanya. Alfan siap untuk jadi pendengar disetiap keluh kesah Akila.

Akila menyeka air matanya. Hatinya sedikit lega karena melampiaskan kekecewaannya dengan cara menangis. Ia hirup udara sebanyak-banyaknya lalu memaksakan senyum. Dengan begitu Akila akan merasa baik-baik saja meski hanya untuk sejenak.

"Udah tenang?" tanya Alfan saat Akila menoleh padanya sembari mengumbar senyuman manis.

Akila mengangguk. "Udah, Kak Alfan. Akila sekarang ngerasa lega karena udah nangis. Kalo ditahan rasanya makin sesak di sini," tunjuknya pada dada.

Alfan mengerti. Dia balas senyum Akila tak kalah manis. Kendaraan yang berlalu lalang di depan bangku taman yang mereka tempati, lampu yang menyorot di segala penjuru jalan menjadi objek bagi Akila yang tengah berusaha melupakan kejadian do cafe tadi. Akila tak ingin mengingat Claudia di saat yang bersamaan, di saat ia mengingat Langit.

"Lo sekarang udah beda banget, ya, sebelum jatuh cinta banget sama Langit. Dulu lo pribadi yang ceria, sekarang suka nangis kek gini." Alfan berkata membuat Akila menatapnya.

Akila terdiam, tak mengerti apa yang tengah Alfan maksud. Bagi diri Akila sendiri secara pribadi, tak ada yang berubah dari dirinya. Entah yang sekarang atau dirinya yang dulu. Hanya saja, menangis adalah salah satu cara untuk meredakan setiap gejolak kesedihan di dalam dada. Mungkin ... perempuan di luar sana juga begitu. Air mata akan turun sendirinya kala bibir tak mampu lagi untuk bicara.

"Rasanya gue mau marah sama Langit setiap dia jadi alasan lo menangis begini. Bukannya ketika kita jatuh cinta, yang ada hanya canda tawa, bukan tangisan gini?" Alfan melirik wajah Akila dari samping kala gadis itu membuang pandangan.

"Itu kalo kita jatuh cintanya barengan, Kak Alfan, bukan bertepuk sebelah tangan gini. Akila suka Kak Langit, Akila sayang sama Kak Langit, tapi ... Kak Langit sendiri enggak ada rasa sedikit pun sama Akila." Akila menjawab dengan tatapan kosong.

Alfan bersandar lalu memandang lurus ke depan.

"Kalo terlalu sakit buat lo, lepasin aja, Akila. Ibarat lo megang pisau yang tajam, semakin lo genggam, tangan lo akan semakin terluka dan berdarah. Tapi ... ketika lo lepas pisau itu, rasa sakit itu akan berhenti dan luka lo nggak akan semakin dalam. Itu berlaku untuk perasaan lo yang sekarang. Gue mau dukung lo buat dapetin Langit, tapi gue nggak bisa liat lo terus-terusan nangis gini," ujar Alfan dengan ekspresi yang begitu tenang.

"Cinta seharusnya ngelahirin rasa bahagia bukan sebaliknya. Jangan sakitin diri lo karena hal ini. Mungkin kalimat gue ini terdengar jahat, tapi satu hal yang perlu lo tau, jangan buang-buang waktu sama hal yang enggak berguna." Alfan menambahkan.

I'm Not A Narsis Baby (TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang