29. Days Full Of Tears

9.6K 850 1K
                                    

Ini hari kelima setelah Akila mendapat skorsing dari kepala sekolah. Ia hanya berdiam diri di kamar, tanpa ingin keluar meski Aditama-Papinya selalu mengetuk pintu, mengajaknya sarapan dan makan malam.

Akila mengusap air matanya yang terus saja luruh tanpa henti. Denada mendiamkannya dari hari itu dan terkadang marah-marah di depan pintu kamar lantaran papinya bersikeras membunjuknya agar tak mogok makan, seperti tadi.

Akila jangan dimanjain terus!

Mami kenapa, sih! Marahnya jangan berlarut-larut sama putri kita. Papi khawatir sama Akila, udah beberapa hari ini Akila nggak keluar kamar.

Udahlah, Pi, mending kamu berangkat ke kantor, sudah mau telat ini. Lagi pula kalau dia lapar pasti keluar sendiri. Nggak ada gunanya manjain anak nakal begitu.

Mi, Akila bukan anak nakal. Anak-anak seumur Akila wajar melakukan kesalahan. Lagi pula, putri kita hanya manusia biasa. Kamu ini terlalu melebih-lebihkan segalanya.

Apanya yang wajar? Video dia kesebar, duduk disamping Langit yang nggak pakai baju. Mami masih nggak habis pikir! Beruntung Daniel nggak marah sama kita karena kelakuan dia.

Akila menunduk. Ingatannya terus mengulang perkataan Denada yang berdebat dengan Aditama karena dirinya.

"Mami udah nggak sayang lagi sama Akila," isaknya tertahan. Dada Akila benar-benar terasa ingin meledak karena sesak.

Akila sesenggukan sambil memeluk guling. Tak ada lagi hari-hari ceria seperti dulu. Ia berubah jadi manusia paling menyedihkan karena kesalahan yang ia buat sendiri.

"Andai aja Mami ngerti ... Akila ngelakuin ini karena nggak mau Kak Langit diambil Kak Claudia ... Akila tau ini salah, tapi Akila juga nggak mau kalah dari dia ... Apa salahnya kalau Akila berjuang demi perasaan Akila sendiri?" tanyanya tersedu.

"Akila udah gede, Mami ... Akila nggak suka kalah atau pun ngalah dari siapa pun ... makanya nekat lakuin hal itu biar Akila bisa deket terus sama Kak Langit ...."

Akila merebahkan tubuh yang terasa lemah. Ia meringkuk dengan tangis bertambah deras. Hari-harinya dipenuhi air mata. Hari-hari cerianya hancur begitu saja.

Dua minggu tak diperbolehkan datang ke sekolah buat Akila semakin merasa tersiksa. Ia ingin bertemu dengan Langit, ia ingin berburu kunang-kunang lagi dengan Langit dan ia ingin melakukan segala hal dengan anak laki-laki itu tanpa batas waktu.

"Sesek banget dada, Akila," ujarnya terisak. Ia tekan dada dengan kedua mata terpejam.

Denting melodi dari lemari buat mata Akila perlahan terbuka. Ia tahu suara menenangkan itu berasal dari kotak musik yang ia simpan, milik anak laki-laki cengeng yang ia temukan di taman.

Akila mengusap air matanya. "K-kenapa kotak musik bunyi terus pas Akila lagi sedih begini? Kotak musik ikut ngerasa sedih juga, ya sama apa yang udah terjadi sama Akila begini?" tanyanya lirih.

Akila menghela napas panjang lalu bergegas mengambil kotak musik tersebut. Ia bawa ke pinggir kasur dan mengamatinya dengan mata basah.

"Akila nggak tau pemiliknya sekarang di mana," gumamnya sedih.

Akila menaruh kotak musik di sisi ranjang lalu tidur menghadap benda itu. "Nggak ada yang sayang lagi sama Akila," ujarnya pada kotak musik yang terus berbunyi itu.

Air mata Akila kembali menggenang. Telunjuknya menyentuh permukaan kotak musik. Pikirannya pun mulai berkelana kesana-kemari.

"Akila terluka," tangisnya pun pecah.

"Akila udah jahat karena nggak mikirin perasaan Papi, perasaan Mami dan perasaan Kak Langit ... Akila sengaja jebak cowok yang Akila suka biar bisa deket terus sama Akila ...," racaunya entah pada siapa.

I'm Not A Narsis Baby (TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang