44. Kerinduan yang Tertahan

14K 927 924
                                    

Denting sendok dengan piring mengisi keheningan acara makan malam. Mario melirik Akila dan Langit yang duduk berseberangan. Saling dieman!

Ini hari kedua Langit tinggal di apartemennya dan sepupunya masih enggan menunjukkan raut bahagia. Meski ... Mario tahu gadis itu memendam rasa senangnya. Apa boleh buat, perasaan wanita terkadang memang sukar di tebak.

"Hm!" Mario berdeham guna mencairkan suasana. Ia seperti berada di sebuah museum, tempat benda mati diletakkan.

Akila menatap sepupunya itu tanpa bicara sepatah kata pun, kemudian kembali menurunkan pandangan. Ia kira, Mario tersedak duri ikan makanya angkat kepala.

"Dek, habis ini gue ke apart Stevan."

"Akila ikut!" jawab Akila cepat.

Langit tak bergeming. Ia tetap fokus pada makanannya meski rasanya ia ingin bersuara dan melarang Akila pergi.

"Gabisa, Adek tetep di apart." Mario melarang. "Lagian, ini urusan para cowok. Berhubung besok libur, jadi malam ini harus bersenang-senang. I miss party!"

Akila mendengus. "Nanti bakal Akila aduin ke Papanya Kak Mario. Kak Mario mau ke bar kan, sama temennya?" ancam Akila.

"Gabisa gitu dong. Gimana kalo pulangnya, Adek ... Kak Mario beliin strawberry paling manis sedunia?" Mario membujuk dengan alis mata sengaja ia naik-turunkan.

"Um, bentar ... Akila pikir dulu." Akila bimbang. Di satu sisi, ia menginginkan strawberry karena itu buah kesukaannya. Tapi di sisi lain ... ia dan Langit akan tinggal berduaan di apartemen?

"Udah, pilih beliin strawberry aja." Mario mengibaskan tangan. Akila terlalu lama mengambil keputusan. Jelas-jelas dibelikan buah strawberry lebih untung ketimbang melaporkannya pada sang papa.

"Kalo Kak Mario enggak di apart, berarti Akila tinggal berduaan sama cowok ini? Sungguh mendebarkan!" Akila memutar badan ke samping lalu menunjuk wajah Langit.

Langit menatap Mario, dia tak bersuara.

"Ngit, inget peraturan yang udah kita sepakatin. Kalo lo ngelanggar, gue bikin bonyok lo!" kata Mario kemudian meneguk segelas air. Ia telah selesai makan.

"Iya, Bang, aman!" Langit menjawab.

"Peraturan apa?" Akila menatap Mario penasaran.

Mario mengedikkan bahu kemudian beranjak dari meja. Akila mengembuskan napas kasar dan kembali fokus makan.

"Awas deket-deket sama Akila!"

"Hm?" Langit menoleh menatap Akila.

Akila mengalihkan pandangan, tak ingin menatap mata Langit. Ia semakin berdebar namun tahan diri untuk tak berteriak. Andai saja Zania ada di sini, ia akan ngereog!

"Kak Mario bener-bener, ya! Ninggalin Akila di sini sama Kak Langit! Gimana kalo nanti Akila jadi reog? Kan, bahaya!" batin Akila.

"Lo ngomong apa barusan?" tanya Langit.

Akila geleng berkali-kali. "Nggak ada."

Langit menggeser piringnya ke tengah lalu minum, sementara Akila diam mengawasi. Melihat Langit yang bersandar dan menoleh lagi padanya, Akila buru-buru berdiri dan dengan cekatan mengambil gelas minumnya yang telah kosong.

"Kenapa? Kangen?" tanya Langit. Ia tahu Akila diam-diam curi pandang padanya.

"Siapa juga yang kangen. Kepedean!" Akila memberenggut sebal lalu berjalan untuk ambil piring dan gelas Mario.

Langit menyunggingkan senyum dan berdiri. Ia bantu Akila memindahkan barang yang kotor ke wastafel meski gadis itu tak pernah meminta.

"Apa kabar, Bayi Narsis?" Langit bertanya. Ia berdiri di samping Akila yang sedang menyalakan keran air.

I'm Not A Narsis Baby (TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang