Burung besi lepas landas menuju negara tujuan. Seorang anak laki-laki mengenakan jaket dan topi hitam, duduk bersandar di kursi. Di sampingnya ada seorang anak laki-laki yang sepertinya seumuran dengannya sedang main ponsel.
Langit sedari tadi menggenggam jemarinya. Ia merasa sedikit gugup membayangkan akan bertemu Akila. Entahlah, ia tak tahu kenapa jantungnya terasa begini. Ia nervous.
"Lo mau?"
Langit menoleh ketika teman di sampingnya menyodorkan biskuit padanya. Dengan senyum canggung, ia pun menerima pemberian anak itu.
"Thanks," kata Langit.
Anak itu mengangguk. "Gue Dion," katanya memperkenalkan diri meski Langit tak bertanya namanya.
"Gue Langit," jawab Langit seadanya.
Dion, anak laki-laki yang ramah mengajak Langit mengobrol. Dia bercerita banyak hal meski baru kali ini bertemu Langit. Karena lelucon yang dia buat, membuat Langit beberapa kali tertawa pelan.
"Serius, gue pernah ke sekolah lo, Ngit, sebelum gue lulus. Waktu itu kebetulan doi gue sekolah di situ, sekarang mah tinggal kenangan," katanya masih terkekeh.
Langit menatap Dion sejenak. Setelah saling berkenalan, Langit jadi tahu jika laki-laki di sampingnya lebih tua dua tahun dari dirinya.
"Kalo kata gue nih, Ngit. Paling enak itu masa-masa SMA. Serius, gatau kenapa. Menurut lo gimana?" tanya Dion.
"Gatau, Bang. Belum lulus gue."
"Oh, iya, baru inget," kekehnya. "Ngomong-ngomong, tujuan lo ke mana nih? Udah dapet jatah libur di sekolah?" tanya Dion lagi.
Langit membenarkan. "Udah Bang, mau healing bentar untuk beberapa hari ke depan libur," jawabnya berbohong.
"Anak muda jaman sekarang healing-nya jauh-jauh, ya. Waktu di jaman gue dulu, healingnya bantuin bokap di toko atau nggak nemenin nyokap ke pasar." Dion berkata.
"Mau gimana lagi, Bang."
"Kenapa healing nggak ngajak doi, Ngit? Orang-orang mah pergi jauh pasti ditemenin ayang," kata Dion, bermaksud bergurau.
Langit terdiam, tak tahu jawab apa.
"Doi gue di Belanda, Bang." Langit akhirnya bersuara meski dengan tak tahu dirinya, ia mengklaim jika Akila adalah miliknya.
"Wah, pantes!" Dion tertawa. "Ternyata healing mau ketemuan sama doi."
Langit menggaruk pelipisnya. "Iya, Bang."
Dion menepuk-nepuk pundak Langit.
"Pertahankan doi lo, jangan sampe diambil orang. Jangan sampai kek gue. Lo mau denger cerita dari gue?" tanyanya menawarkan. Dion siap berbagi cerita tentang mirisnya kisah percintaannya.
Langit mengiyakan, sementara Dion kembali bersandar sembari mengingat tentang kisah masa SMA-nya yang tak berakhir indah — tepatnya pada gadis yang saat ini berputar layaknya bianglala dalam benak kepala, meski sudah bertahun.
"Gue dulu kapten basket. Jadi wajarlah banyak yang suka. Lo pasti tau kan, gimana kalo jadi cowok populer? Ini bukan bermaksud nyombong, Ngit, kisahnya bermula dari situ," kata Dion agar Langit tak salah tangkap perihal yang ia jelaskan.
"Iya, Bang, gue tau." Langit paham.
"Jadi, tuh cewek dari sekolah lo. Dia pendek tapi berani. Sumpah, Ngit ... berani banget. Dia jauh-jauh datang ke sekolah gue cuma buat naroh suratnya di loker gue!" Dion tertawa mengingatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm Not A Narsis Baby (TERBIT)
Teen FictionFOLLOW SEBELUM MEMBACA KARENA SEBAGIAN CERITA DI PRIVATE! JANGAN TUNGGU SAMPAI ENDING, NANTI NYESEL🥵 Ini bukan kisah tentang Cinderella yang kehilangan sepatu kaca atau pun kisah seorang nerd girl yang bertemu pria kaya raya. Ini hanyalah kisah Ru...