17. Di Penghujung Senja

13.5K 1.2K 1.4K
                                    

HALO, SEMUANYA!!

JUMPA LAGI SAMA AKU NIH^^

MAAF YA, BARU UPDATE SEKARANG!

AKU LIAT KALIAN KURANG ANTUSIAS GITU, JADINYA GITU, GAK SEMANGAT AKUNYA😭 TAPI GAPAPA KARENA UDAH NEMBUS 1K KOMENTAR AKU BAKAL UPDATE HARI INI☁

GIMANA KABAR KALIAN SEMUA?

SAPA AKU SESUAI ZODIAK KALIAN :

WARNA KESUKAAN KALIAN :

SPAM EMOT 💛 UNTUK AKU :

INISIAL CRUSH KALIAN APA HAYO 🤭 :

SIAP UNTUK MEMBACA KELANJUTANNYA?

VOTE DULU SEBELUM BACA YA!!

SIAP ATAU ENGGAK NIH?

PASTINYA SIAP DONG!! ^^

Happy reading, Macaagengs!!

***

"Kenapa lo masih nangis?"

Akila menggeleng lalu menyeka kasar air yang terus menggenang di kelopak matanya. Saat ini, ia dan Langit berada di taman. Lima menit yang lalu, Langit membawanya ke sini karena keberadaan Claudia.

Akila tak tahu alasan yang jelas kenapa air matanya terus jatuh begini. Di sisi lain, dadanya begitu sakit saat melihat Claudia menangisi Langit. Entah ia cemburu atau tak rela orang yang ia suka menjadi alasan untuk seseorang menangis. Tak seharusnya Akila begini. Bukankah Claudia lebih berhak menangis dari pada dirinya?

"Akila nggak tau kenapa Akila masih nangis gini. Nggak seharusnya Akila nangis ... nggak seharusnya." Akila mencoba tertawa lalu memandangi hamparan Langit biru.

Langit mengembuskan napas pelan lalu menunduk. Jemarinya bertaut, tak begitu mengerti perasaan Akila yang kadang-kadang suka berubah seperti cuaca. Kadang cerah dan kadang muram.

"Gue bingung ...." Langit bersuara.

"Kak Langit bingung kenapa?"

"Sama semuanya." Langit tersenyum kecut.

Akila tak bertanya lagi. Ia pandangi wajah Langit sekilas lalu membuang pandangan ke arah lain. Sejenak, terjadi keheningan antara keduanya.

"Kak Langit sengaja ngehindarin Kak Claudia? Kenapa? Akila boleh tau alasannya apa?" tanya Akila dengan pandangan lurus ke depan.

"Lo boleh tanya apa pun sama gue, tapi jangan tentang Claudia. Nggak ada yang perlu gue jelasin dan lo nggak perlu tau alasannya kenapa." Langit menatap wajah Akila dari samping.

"Mulut bisa bohong tapi enggak sama mata. Kalau Kak Langit belum selesai sama masa lalu, selesaiin ... jangan lari dari kenyataan Kak Langit. Itu ... itu semua bisa nyakitin kalian berdua," lirih Akila, berusaha kuat memaksakan senyum.

"Lo nggak punya hak sedikit pun buat ngomong gitu. Tau apa lo tentang gue dan dia? Emangnya mata gue bilang apa sampe lo bisa nyimpulin gitu? Jangan sok tau, gue benci!" sorot mata Langit berubah tajam.

"Akila ngomong yang sebenarnya. Kenapa Kak Langit selalu menyangkal perasaan Kak Langit yang sebenarnya? Kenapa Kak Langit terus-terusan bohong sama diri sendiri? Kak Claudia butuh alasan kenapa Kak Langit berubah begini ...."

"Ini diri gue yang sebenarnya. Tanpa gue jelasin pun, mungkin lo dan dia udah ngerti dan udah tau! Gue benci kisah percintaan dan gue nggak akan pernah terlibat dalam hubungan sampah itu lagi. Gue bener-bener muak denger kata cinta!" tekan Langit dengan mata memerah.

I'm Not A Narsis Baby (TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang