Happy Reading!!!
***
“Tidur Ashlyn nyenyak gak semalam?” Bian melirik ke arah Zinnia yang sedang membereskan buku dan alat gambar Ashlyn lainnya yang berserakan di atas meja. Sementara si empunya sudah nyenyak dalam pelukan sang ayah sejak beberapa menit yang lalu.
Biasanya Ashlyn akan membereskan peralatan sekolahnya sendiri, tapi karena Bian datang setelah kemarin malam absen menemui, membuat Ashlyn langsung berhambur ke dalam pelukan ayahnya. Mengutarakan rasa rindu dan bercerita banyak hal seperti biasanya.
Bersama Bian, Ashlyn yang biasanya mandiri berubah menjadi manja, dan karena terlalu merindukan ayahnya, Ashlyn mengabaikan peralatan tulis dan gambarnya berserakan di meja. Gadis sembilan tahun itu bergelayut manja di gendongan ayahnya, hingga tak lama kemudian Ashlyn terlelap. Zinnia lah yang akhirnya harus membereskan itu semua.
“Bangun tengah malam,” jawab Zinnia setelah menggelengkan kepala tanpa sama sekali menatap Bian. Terlalu tak sanggup, meskipun sejujurnya Zinnia ingin puas menatap Bian yang teramat dirindukan. Tapi Zinnia tidak bisa, ia akan lemah jika melakukan itu, dan Zinnia enggan hal itu terjadi sebab ia sendiri yang akan kewalahan nantinya.
“Kenapa?” sebelah alis Bian naik tanda penasaran.
“Minta di antar ke kamu,” Zinnia mengatakan yang sejujurnya. Pukul satu dini hari, Ashlyn terbangun dan merengek meminta diantarkan pada sang ayah. Membuat Zinnia menghela napas, sedih karena ternyata dampak Bian begitu luar biasa untuk putrinya. Ashlyn yang biasanya tidak rewel berubah jadi begitu keras kepala. Namun meski begitu Zinnia cukup memakluminya. Sepuluh tahun anaknya itu tidak mendapati sosok seorang ayah yang selalu menjadi cinta pertama para anak perempuan, meski tidak semuanya. Wajar jika kini Ashlyn begitu menempel pada Bian saat tahu bahwa pria itu adalah ayah biologisnya.
Dulu Zinnia pun begitu. Ia tidak ingin lepas dari ayahnya. Setiap kali sang papi pulang kerja Zinnia akan menyambutnya dengan tangan merentang meminta di gendong. Tidak peduli bahwa sang ayah lelah setelah aktivitasnya seharian. Zinnia selalu ingin berada dalam gendongan pria pertama yang dirinya kenal sejak pertama kali membuka mata. Bahkan mungkin ketika dirinya masih berada dalam perut sang mami.
Setiap malam Zinnia akan meminta sang papi menemaninya tidur, dan pagi ketika bangun Zinnia akan menangis saat tidak menemukan ayahnya di mana-mana. Dan kini Ashlyn pun demikian, meskipun gadis itu tidak sampai menangis sepertinya. Ashlyn hanya akan cemberut, tapi masih cukup bisa di bujuk, tidak seperti dirinya kecil dulu.
Namun meski begitu rasa takut tidak hilang dari hatinya. Memikirkan Ashlyn yang sudah mulai bergantung pada Bian membuat Zinnia tidak tenang setiap harinya. Dan Zinnia mulai memikirkan, sudah benarkah ia dengan memberi tahu Ashlyn perihal Bian? Tapi saat melihat wajah bahagia putrinya setiap kali Bian datang, Zinnia merasa keputusannya sudah benar. Hatinya menghangat setiap kali melihat interaksi antara ayah dan anak itu. Karena nyatanya sejak Ashlyn dalam kandungan Zinnia membayangkan hal ini hampir setiap harinya. Di mana Ashlyn akan bercanda dan tertawa dengan ayahnya, dan dirinya memperhatikan dengan senyum terkembang sambil membuatkan camilan untuk dua orang tersayangnya itu.
Sayangnya bayangannya tersebut harus hancur saat dengan mata kepala sendiri Zinnia menyaksikan Bian menyematkan cincin di jari manis perempuan lain. Sekarang Zinnia hanya bisa menyaksikan kedekatan Bian dan anaknya dari kejauhan, dalam diam, tanpa bisa bergabung dan tertawa bersama. Meskipun sangat ingin. Tapi sekali lagi, Zinnia tidak ingin mencipta harapan yang semu.
“Terus kenapa gak telepon aku?” Bian meringis merasa bersalah. Andai tahu sang putri akan begitu merindukannya, mungkin Bian akan sempatkan diri mengunjungi anaknya dulu sebelum menemui teman-temannya semalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Destiny
General FictionDiawali dengan kenikmatan, lalu berakhir dengan kekecewaan semua orang. Cinta itu kadang menyesatkan. Hadirnya bukan semata untuk memberi kebahagiaan, sebab derita pun menjadi bagian di dalamnya. Banyak hal yang Zinnia korbankan. Banyak pula penderi...