Happy Reading!!!
***
Aruna menatap terluka pada sosok Bian yang terlihat gelisah dalam tidurnya. Namun meski begitu Aruna tetap berusaha membangunkan Bian. Hari sudah siang sekarang, dan Bian butuh mengisi perutnya setelah melewatkan sarapannya. Apalagi sejak tadi Aruna mendengar suara perut pria itu yang kelaparan. Aruna tidak tega. Maka dengan menahan sesak yang menyiksa dada, Aruna sedikit mengguncang tubuh Bian agar pria itu segera terjaga.
Dan Aruna menghela napas lega saat dengan perlahan mata yang semula terpejam itu terbuka bersama erangan pelan yang seketika membuat Aruna sontak mengambil air mineral dalam gelas di atas nakas yang sudah tersedia sebelumnya, lalu membantu Bian untuk duduk dan minum.
“Perlu air mineral lagi?” tawar Aruna begitu Bian mengosongkan gelasnya dalam sekali teguk. Meyakinkannya bahwa sang tunangan begitu kehausan. Terlebih setelah mabuk semalam. Tenggorokan Bian pasti terasa kering sekarang.
Sebuah gelengan Bian berikan sebagai jawaban sebelum kemudian memijat kepalanya yang terasa pening. Dan dalam hati Bian mengumpati sahabatnya yang benar-benar menghubungi Aruna untuk mengurusnya. Meski ia juga tidak terlalu berharap teman-temannya mendatangkan Zinnia ke apartemennya, Bian tahu itu tidak mungkin, karena sahabat-sahabatnya –terlebih Mario lebih peduli pada Zinnia dibandingkan dirinya. Tapi Bian tidak menyangka bahwa kalimat Mario semalam benar-benar pria itu realisasikan. Padahal Bian tidak butuh siapa pun untuk mengurusinya. Bian bisa melakukan itu sendiri, karena bahkan bukan untuk pertama kali ini saja ia mabuk hingga tak sadar diri. Tapi ya sudah lah, toh tidak mungkin juga ia mengusir Aruna saat ini ‘kan?
“Mario hubungi kamu semalam?” tanya Bian memastikan. “Maaf, ya, pasti ngerepotin,” ringis Bian merasa bersalah. Sungguh-sungguh merasa bersalah karena secara tidak langsung Bian telah menyakiti Aruna dengan kondisinya ini.
Bian mungkin tidak sadar apa yang sudah dirinya lakukan selama mabuk, tapi Bian dapat memastikan bahwa sedikit banyaknya Aruna mendengar racauannya. Bian tidak lupa kebiasaannya saat mabuk. Dan itulah yang membuat Bian semakin merutuki teman-teman sialannya.
Mario sepertinya memang sengaja memberi tahu Aruna agar perempuan yang kini menjadi tunangannya itu tahu bagaimana Bian dan perasaannya saat ini. Dan memikirkan itu kepalanya semakin pening saja.
Bian ingin bertanya pada Aruna tentang apa saja yang ia racaukan dalam ketidak sadarannya, tapi Bian merasa tak siap. Ia takut itu lebih mengerikan dari bayangannya. Bian belum siap melihat Aruna benar-benar terluka karenanya. Meskipun sebenarnya cepat atau lambat ia akan memberi fakta yang menyakitkan untuk perempuan itu. Tapi setidaknya tidak sekarang, Bian belum merangkai kalimatnya. Ia tidak tahu mau memulai menjelaskan dari mana. Dan yang jelas tidak dalam keadaannya yang masih kacau seperti ini.
Maka, untuk menghindari itu, Bian memilih untuk turun dari ranjangnya. Ia perlu mandi untuk membersihkan lengket di tubuhnya akibat keringat, sekalian ia perlu menjernihkan kepalanya yang terasa penuh. Dan perutnya yang kosong butuh Bian kenyangkan lebih dulu. Semoga saja Aruna tidak keberatan menunggunya menyelesaikan semua itu.
“Aku mandi bentar, ya?” izin Bian tanpa sama sekali menatap Aruna, bahkan untuk tanggapan perempuan itu atas kalimatnya sebelum ini Bian tidak berani melihat atau pun mendengar. Katakanlah ia pecundang, karena nyatanya memang sepecundang itulah dirinya.
Mengusap kasar wajahnya dengan tangan kosong, Bian kemudian menyandarkan punggungnya pada pintu kamar mandi yang telah ia tutup dan kunci. Mengurut keningnya dengan kedua jari, Bian menggeram lirih saat pening yang terasa sejak bangun tidur tadi semakin berdenyut nyeri, mengingat setelah ini ia harus menghadapi Aruna dengan pertanyaan dan mungkin sakit hati perempuan itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Love Destiny
قصص عامةDiawali dengan kenikmatan, lalu berakhir dengan kekecewaan semua orang. Cinta itu kadang menyesatkan. Hadirnya bukan semata untuk memberi kebahagiaan, sebab derita pun menjadi bagian di dalamnya. Banyak hal yang Zinnia korbankan. Banyak pula penderi...