Happy Reading!!!
****
“Mas baru pulang?”
Falysa. Adik satu-satunya yang Bian punya tiba-tiba menghampiri ketika Bian hendak naik ke kamarnya yang berada di lantai dua.
Tadi, Bian kira semua orang di rumah sudah tertidur mengingat malam sudah cukup larut. Tapi ternyata adiknya masih terjaga. Terlihat baru kembali dari dapur dengan botol minum yang terisi penuh air mineral.
Sebuah anggukan Bian beri sebagai jawaban. “Kamu kenapa belum tidur?” tanyanya kemudian, lalu melanjutkan langkah menaiki undakan tangga. Di ikuti Falysa yang juga kamarnya berada di lantai yang sama dengan Bian.
“Drakoran dulu tadi,” jawabnya dengan cengiran. Membuat Bian berdecak pelan lalu mengacak rambut adiknya itu dengan gemas.
“Jangan begadang terus, Dek. Gak baik buat kesehatan. Apa lagi begadangnya buat nonton,” Bian mendengus tak suka.
Falysa hanya memutar bola mata menanggapi itu. Lalu setelahnya menghentikan langkah tepat di depan Bian begitu mereka sudah menghabiskan undakan tangga. Membuat Bian terpaksa menghentikan langkahnya juga.
“Ada apa?” sebelah alis Bian terangkat menatap sang adik.
“Eum, aku … boleh tanya?” cicit Falysa terlihat ragu-ragu. Semakin membuat Bian mengerutkan keningnya. Heran dengan sang adik yang tidak biasanya bertingkah seperti ini.
“Mau tanya apa?” meski merasa lelah dan ingin sekali segera istirahat, Bian tetap mempersilahkan adiknya. Karena bagaimanapun Bian cukup penasaran dengan apa yang ingin adiknya itu tanyakan. Melihat dari raut wajah Falysa, Bian yakin bahwa apa yang ingin ditanyakan adiknya cukup penting. Maka dari itu Bian rela menunda istirahatnya.
“Sebanarnya aku cuma mau tanya hubungan Mas sama Mbak Aruna,”
“Di suruh Mama?” tebak Bian tanpa berpikir. Namun dengan cepat Falysa menggeleng.
“Tadi aku lihat Mas di Mall,” katanya terdengar hati-hati. “Aku kira Mas sama Mbak Aruna. Tapi ternyata bukan. Ada anak kecil juga,” dan Falysa melihat jelas keakraban itu. Membuatnya bertanya-tanya sejak tadi, mengenai hubungan apa yang ada diantara mereka.
Falysa tadi sempat ingin berpikir positif, tapi tidak bisa ketika melihat mereka hanya bertiga. Terlihat seperti keluarga kecil yang bahagia. Dan Falysa tidak bisa untuk tidak bertanya langsung pada kakaknya. Ia penasaran, terlebih ketika ingat gadis kecil itu memanggil kakaknya dengan sebutan papa. Semakin saja Falysa tidak bisa berpikir lurus.
Bian mengangguk paham, meski sedikit terkejut. Tapi Bian sadar bahwa kemungkinan itu memang tidak bisa Bian elakkan mengingat ia dan keluarganya tinggal di satu kota yang sama, dan mall yang Bian kunjungi bersama Ashlyn dan Zinnia sore tadi memang biasa adik atau pun kelurganya kunjungi untuk belanja atau sekadar jalan-jalan. Tak sekali dua kali Bian jadikan mall itu sebagai tempat kencannya dengan Aruna. Jadi, bukan suatu keheranan jika Falysa melihatnya di sana sore tadi.
“Itu siapa Mas?”
Bian tak lantas menjawab, dia lebih dulu menghela napas dan membawa tubuhnya bersandar pada tembok di dekatnya, lalu memasukan masing-masing tangannya ke dalam saku celana sebelum kemudian menatap Falysa dengan raut wajah penuh keseriusan. Tidak tegang, tapi juga tidak sepenuhnya santai. “Gadis kecil itu namanya Ashlyn,” Bian menjawab. “Anak Mas,” lanjutnya kemudian, dan Bian bisa langsung menemukan keterkejutan di raut wajah adiknya.
“Anak?” Falysa terdengar memastikan. Takut-takut salah mendengar.
“Iya. Anak kandung Mas,” Bian tidak ingin menutupi kenyataan itu dari adiknya. Bahkan dari orang tuanya sekali pun. Hanya saja Bian belum menemukan waktu yang pas untuk jujur pada orang tuanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Destiny
General FictionDiawali dengan kenikmatan, lalu berakhir dengan kekecewaan semua orang. Cinta itu kadang menyesatkan. Hadirnya bukan semata untuk memberi kebahagiaan, sebab derita pun menjadi bagian di dalamnya. Banyak hal yang Zinnia korbankan. Banyak pula penderi...