Love Destiny - 37

2.3K 171 13
                                    

Happy Reading!!!

***

Menatap sendu kepergian sedan mewah yang membawa kakeknya serta, Zinnia hanya bisa meremas kuat tali tas selempangnya demi menahan diri untuk tidak menangis di depan putrinya yang masih melambaikan tangan hingga sedan itu menghilang dari pandangan.

Selesai menerima pemeriksaan terakhir kala cairan infus sang kakek habis, dokter mempersilahkan pria berusia tujuh puluh tujuh tahun itu pulang. Sesuai seperti yang Arsen katakan sebelumnya.

Satu jam sebelum Kakek Bayani pulang, ibu Zinnia datang setelah sebelumnya pulang sesaat setelah Zinnia dan Mario datang untuk kembali menemani sang kakek, bergantian jaga seperti hari sebelumnya. Kedatangan wanita itu niatnya agar bisa bebenah dulu, tapi semua telah selesai Zinnia kerjakan. Dan ketika waktu kepulangan itu tiba, Zinnia tetap membantu membawakan barang-barang sang kakek, namun begitu semua barang sudah masuk, pun dengan Kakek dan ibunya, Arsen yang hendak menyusul masuk, menyempatkan diri untuk menatap Zinnia dan mengucapkan, “Terima kasih.” Tidak ada kata tambahan, bahkan tidak sama sekali berniat menunggu Zinnia memberi tanggapan. Pria itu masuk dan menutup pintu mobil, sebelum kemudian mobil mewah itu melaju meninggalkannya dengan Ashlyn hanya berdua di basemen khusus petinggi rumah sakit, termasuk keluarga Zinnia yang merupakan pemilik resmi rumah sakit itu.

Zinnia memang tidak berharap di ajak pulang, karena meskipun kakek, ibu, dan adiknya telah memaafkan dan kembali menerimanya dengan tangan terbuka, Zinnia tahu ia tak lantas akan kembali pada keluarganya. Dan tidak adanya kalimat lain selain terima kasih yang sang ayah ucapkan sudah cukup memberi penekanan bahwa dirinya tidak di terima di rumah besar yang dulu pernah menjadi huniannya bersama mereka. Sedih memang, tapi Zinnia cukup sadar diri.

Diizinkan menemani kakeknya di rumah sakit selama empat malam ini saja sudah patut Zinnia syukuri. Zinnia tidak akan menjadi tidak tahu diri meminta di ajak pulang juga.

Tidak apa.

Setidaknya setelah ini ia akan mendapatkan kunjungan atau pun berupa pesan dari ibu, kakek, atau adiknya. Mereka telah berjanji, dan Zinnia berharap itu bukan hanya sekadar janji kosong. Lebih tepatnya semoga sang ayah tidak mencegah mereka menemuinya. Ya, sebab kuasa di rumah besar masih dipegang ayahnya. Kakeknya sekalipun tidak akan mampu menentang jika seorang Arsenio Ferninand sudah mengeluarkan titah. Terlebih jika itu menyangkut penghuni rumah, di mana semua aturan di buat oleh Arsen. Dan dulu Zinnia menjadi salah satu penghuninya. Sayangnya Zinnia membuat kesalahan, hingga mau tak mau harus menerima hukuman atas kesalahannya yang mengecewakan.

Menghela napas pelan, Zinnia kemudian menundukkan kepala demi menatap sang putri. Dengan senyum lembut yang sidikit dipaksakan, Zinnia mengusak sayang puncak kepala Ashlyn. “Sekarang kita pulang, ya?”

Sebuah anggukan menjadi jawaban yang diberikan gadis sembilan tahun itu, tangannya kemudian meraih uluran tangan ibunya, dan mereka berjalan bersama meninggalkan rumah sakit, mencari taksi yang akan mengantar mereka pulang ke rumah. Namun baru saja hendak menghentikan taksi yang kebetulan lewat, sebuah klakson lebih dulu mengejutkan Zinnia, dan Ashlyn yang mengenali mobil itu langsung berseru riang, melepaskan genggaman tangannya dari sang mama, lalu berlari ke arah mobil yang perlahan berhenti. Zinnia sampai berjengit kaget dengan gerakan terburu-buru putrinya itu.

“Tunggu Papa-nya berhenti bisa ‘kan?” tegur Zinnia sedikit tegas.

“Maaf Mama, aku gak sabar soalnya. Kangen banget sama Papa,” cengirnya, lalu melompat ke dalam gendongan ayahnya begitu Bian keluar dan memutari mobil bagian depan demi berada di hadapan Zinnia dan Ashlyn.

Bian yang melihat keantusiasan putrinya itu tertawa, lalu mencium kedua pipi putrinya dengan kedua tangan menahan tubuh Ashlyn yang sesungguhnya cukup berat. Tapi Bian tidak sedikit pun merasa keberatan. Toh ia masih mampu menahan berat tubuh putrinya. Bahkan kalau mau, Zinnia yang lebih berat dari Ashlyn pun masih sanggup Bian gendong. Hanya saja jangankan berinisitif meminta, Bian tawari saja Zinnia pasti segera mundur sambil menggelengkan kepala kuat-kuat.

Love DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang