Love Destiny - 34

2.9K 177 17
                                    

Happy Reading!!!

****

“Setelah lama gak nongkrong di sini, akhirnya lo datang lagi,” Mario berucap sesaat setelah Bian mendudukan diri di depan meja bar. “Kali ini masalah lo apa lagi, Bi?” sebab begitulah biasanya saat Bian datang. Sahabatnya satu itu terlalu memiliki banyak masalah, walaupun sumbernya hanya satu. Zinnia.

“Gak ada. Gue sengaja aja datang, pengen nengok lo,” jawab Bian santai, lalu meminta bartender di sana untuk memberinya minuman. “Meskipun sebenarnya yang lebih pengen gue pastiin itu teman lo,” lanjutnya setelah meneguk minumannya. “Gimana kabar dia, Yo?”

“Maksud lo si El?” Mario memastikan. Dan Bian menjawab lewat anggukan.

“Kabarnya gebetan dia nikah ‘kan?” kali ini Mario yang mengangguk, lalu menyusul Bian duduk di kursi tinggi depan meja bar. “Ck, jelek banget nasib tuh pendosa. Dua kali dia di tinggal nikah?!” Bian mendecak sembari mengggelengkan kepala mengiba.

“Nasib lo gak kalah menyedihkannya dari dia, Bi,” Mario mengingatkan.

“Tapi gue gak ditinggal nikah sama Zinnia,”

“Iya, tapi juga gak akan pernah bisa lo nikahin dia,” sahut Mario kelewat santai, membuat Bian sontak saja mendelik dan tak segan memberi tendangan pada sahabatnya satu itu. Bukannya marah, Mario justru tertawa.

“Tapi serius deh, Bi, lihat bagaimana bokapnya Zinnia kemarin, gue berani bertaruh, kalau beliau gak akan merestui kalian. Atau mungkin merestui tapi gak akan pernah memaafkan anaknya. Dan, melihat bagaimana Zinnia begitu menyayangi keluarganya, gue yakin Zinnia akan lebih memilih maaf ayahnya dari pada hidup bareng sama lo,”

Ada kecewa yang begitu dalam, meskipun rindu tidak dapat sepenuhnya disembunyikan di manik ayah Zinnia saat kemarin Mario menyaksikan sendiri bagaimana memilukannya drama Zinnia dengan orang tuanya.

Tatapan dingin ayah Zinnia begitu menusuk, membuatnya yang selama ini tidak pernah merasa terintimidasi oleh siapa pun bergidik ngeri dan memilih untuk pamit pulang sebelum tatapan pria pertengahan usia lima puluh itu benar-benar berhasil mengulitinya.

“Lo ketemu bokapnya Zinnia, Yo?” Bian langsung memberi atensi penuh pada sahabatnya. Penasaran bagaimana bisa pria itu bertemu dengan ayah Zinnia yang sulit ditemui itu. “Di mana?”

“Rumah sakit.”

“Kok bisa?”

Mario tak langsung menjawab, lebih dulu meneguk minuman yang sesaat lalu di minta dari bartendernya yang malam ini tidak begitu sibuk mengingat besok masih weekday, di mana orang normal masih dengan aktivitas sibuknya yang membosankan. Ya setidaknya untuk Mario yang tidak suka bekerja dalam tekanan.

“Kemarin gue ketemu dia di pinggir jalan, lagi nangis. Waktu gue tawarin antar dia pulang, Zinnia minta ditemenin ke rumah orang tuanya. Tapi begitu sampai di sana kita malah ngikutin ambulan yang keluar dari gerbang rumah itu,” Mario mengedikkan bahu singkat mengisahkan itu. “Intinya gue yang menemin dia ketemu keluarganya di rumah sakit. Dan kebetulan menyaksikan drama mereka yang penuh air mata.”

“Kenapa harus lo?”

Mario menaikan sebelah alisnya menatap Bian, tidak paham dengan maksud yang coba sahabatnya itu sampaikan.

“Kenapa selalu lo?” ulang Bian melirik Mario yang semakin mengerutkan keningnya. “Kenapa selalu lo yang nemenin Zinnia? Yang ada di samping Zinnia. Kenapa selalu lo, Yo? Kenapa bukan gue?” menahan segala emosi yang ada, Bian mempertanyakan semua itu. Jujur saja Bian cemburu, dan kecemburuannya sudah tidak bisa lagi di cegah. Apalagi mendengar cerita Mario barusan. Rasanya Bian benar-benar ingin meluapkan emosinya.

Love DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang