Happy Reading!!!
***
“Aku perhatikan Mas malah semakin sibuk sama masa lalu Mas, ya?” ucap Aruna sesaat setelah Bian kembali menjatuhkan bokongnya di kursi sebuah restoran yang menjadi tempat pertama kali mereka bertemu beberapa bulan yang lalu selesainya pria itu menerima telepon dari kontak bernama Ashlyn. Sosok yang Aruna ingat sebagai nama anak Bian.
Dan tatapan Aruna yang sendu, membuat Bian meringis dan tak berani menatap langsung mata perempuan itu. Bagaimanapun Bian sadar bahwa dirinya memang telah melukai sang tunangan.
“Tapi anakku bukan hanya masa lalu, Run,” Bian membantah. “Anakku bukan sekadar masa lalu. Dia masa depanku juga,” tambahnya kini dengan sorot mata tegas.
Aruna memalingkan muka melihat itu. Perasaannya benar-benar tak karuan mendengar Bian mengatakan soal anak. Jujur saja Aruna masih belum dapat percaya. Ia belum bisa terima mengenai kenyataan bahwa sang tunangan sudah memiliki buah hati di saat dirinya terlanjur mengenal Bian sebagai pria single yang belum pernah menikah. Namun tiba-tiba, tidak ada angin tidak ada hujan pria itu mengatakan bahwa dia memiliki seorang putri yang usianya sudah mau menginjak remaja.
Aruna terkejut. Ia sampai tidak bisa berkata-kata untuk menanggapi itu ketika untuk pertama kalinya Bian mengatakan kejujuran soal masa lalunya. Dan sampai sekarang Aruna belum bisa menanggapinya. Itu terlalu menyesakkan.
“Aku tahu kamu marah. Aku minta maaf. Tapi Run, setelah sembilan tahun aku gak ada di sisinya apa salah jika sekarang aku ingin menebus waktu yang telah berlalu? Demi Tuhan Aruna … dia anak aku! Dan selama ini aku gak tahu mengenai keberadaannya,” sampai akhirnya Bian mendengar penjelasan itu setelah makian demi makian sahabatnya lemparkan.
“Maaf jika karenanya aku mengabaikan kamu. Tapi sungguh, setelah mengetahui fakta itu aku gak bisa jika harus mengabaikannya. Dia anakku, Aruna. Dia … anakku,”
“Lalu bagaimana dengan ibunya? Bukannya Mas juga masih menginginkannya?”
Dan Bian tidak bisa jika harus menggeleng. Sebab seperti apa yang pernah Aruna dengar, hatinya memang masih begitu menginginkan Zinnia. Bahkan selama menebus waktunya kepada Ashlyn, Bian juga kerap berusaha meraih Zinnia lagi, meskipun sampai sekarang wanita yang berhasil melahirkan anaknya itu masih sulit Bian luluhkan. Ya, sekali pun mereka telah mengakui kesakitan itu, nyatanya Zinnia masih tetap tidak bisa menerima Bian kembali. Dan Bian nyaris putus asa.
“Lalu aku bagaimana Mas?” sambung Aruna dengan lirih. Membuat Bian lagi-lagi menundukkan kepalanya, tidak sanggup melihat perempuan di depannya terluka. “Aku bagaimana?” tanyanya lagi. Dan kini air mata yang sejak tadi di tahan, lolos begitu saja.
“Aruna …”
“Aku tahu hubungan kita belum lama. Aku tahu dibandingkan dengan wanita itu kebersamaan kita belum ada apa-apanya. Tapi Mas, aku gak mau—aku gak mau kalau harus aku yang mengalah. Aku gak mau,” lirih Aruna seraya menggelengkan kepala.
“Kamu punya anak, oke … aku bisa terima anak kamu, Mas. Aku janji akan menyayanginya. Aku bisa menjadi ibu tiri yang baik untuk anak kamu sama perempuan itu. Aku gak keberatan,” meski tahu nantinya itu akan terus menghantui. Tapi Aruna janji ia akan menyayangi anak itu.
“Aruna—”
Aruna menggeleng, tidak membiarkan Bian bicara dulu. “Kamu punya aku sekarang, Mas. Kamu milik aku. Perempuan itu hanya masa lalu, dan aku tidak akan mundur hanya karena masa lalu,” sekalipun Bian masih mencintai perempuan itu. Aruna percaya lambat laun perasaan itu akan terkikis, dan dirinya yang akan menjadi satu-satunya yang mengisi kekosongan itu. Aruna percaya dirinya bisa. Beberapa bulan lalu Bian telah memilihnya menjadi masa depan, Bian hanya tinggal melanjutkan menatap lurus ke depan tanpa perlu menoleh lagi ke belakang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Destiny
General FictionDiawali dengan kenikmatan, lalu berakhir dengan kekecewaan semua orang. Cinta itu kadang menyesatkan. Hadirnya bukan semata untuk memberi kebahagiaan, sebab derita pun menjadi bagian di dalamnya. Banyak hal yang Zinnia korbankan. Banyak pula penderi...