Love Destiny - 27

2.7K 170 7
                                    

Happy Reading!!!

***

“Tumben banget kamu pulang terus ke sini, Bi? Apartemennya kamu jual?”

Bian melengos mendengar tanya bernada cibiran milik ibunya itu. Membuat Alin mendengus lalu mengikuti langkah sang putra yang semakin masuk ke dalam rumah. Masih berharap Bian memberi jawaban, karena sungguh Alin penasaran.

“Beneran kamu jual ya, Bi, apartemennya? Kenapa? Modal nikahnya kurang?”

Dan Bian benar-benar mendengus kali ini. Bian tahu itu tidak sopan, tapi ibunya benar-benar menyebalkan. “Mama gak bisa ya biarin aku istirahat dulu sebentar sebelum nanya-nanya?” Ibunya itu kebiasaan. Bian baru pulang kerja padahal.

Sebenarnya tadi sempat mampir ke rumah Zinnia untuk menengok sang putri seperti biasanya, tapi Ashlyn tidur. Zinnia bilang putrinya itu kelelahan sekaligus kekenyangan sebab seharian di ajak jalan-jalan sambil kulineran oleh tantenya. Membuat Bian menghela pelan, lalu memutuskan untuk pulang saja dengan menitip pesan pada Zinnia agar mengabarinya kalau-kalau Ashlyn bangun malam-malam dan mencari dirinya. Itulah kenapa Bian tetap memutuskan pulang ke rumah orang tuanya meskipun hari belum terlalu malam.

Awalnya Bian ingin bertahan di sana, menghabiskan waktu barang satu atau dua jam, setidaknya ia bisa mengobrol dengan Zinnia dari hati ke hati. Soal mereka, juga soal Aruna. Tapi Zinnia terlihat enggan membahas apa pun dengannya. Perempuan itu terus menghindar. Jadilah Bian memilih untuk pulang saja dari pada membuat ibu dari anaknya itu tidak nyaman.

Mungkin untuk sekarang Bian perlu bergerak dengan pelan, sampai Zinnia merasa nyaman dan mereka bisa mengobrolkan segala hal dengan leluasa. Tapi setibanya di rumah, Bian malah harus meladeni ibunya. Membuat Bian seketika menyesal kenapa tidak pulang ke apartemen saja.

Ah, tapi sekarang sudah terlambat ‘kan?

“Lagian heran deh, aku pulang ke rumah salah, gak pulang salah juga,” decak Bian gemas.

Ibu dua orang anak itu hanya memberikan cengirannya, lalu bergelayut manja di lengan putra sulungnya. “Mama tuh cuma heran aja, Bi. Selama ini ‘kan kamu selalu alasan kejauhan kalau tidur di rumah. Eh tiba-tiba belakangan ini jadi sering banget pulang. Kamu gak capek memangnya? Atau kerjaannya lagi longgar?” tanya Alin dengan suaranya yang lembut.

“Belakangan ini aku memang lagi ada urusan di dekat sini. Jadi dari pada bolak balik apartemen mendingan aku pulang ke sini. Tapi kalau Mama keberatan ya udah aku pulang ke apartemen aja. Gak masalah kok,” ucap Bian seraya tersenyum dipaksakan, membuat Alin sontak panik dan segera menggelengkan kepala.

“Nggak loh, mama gak keberatan, Bi. Kamu boleh kapan aja pulang ke sini. Ini rumah kamu juga,” kata Alin dengan nada panik. Membuat Bian diam-diam menyungingkan senyum puas. Ibunya itu memang harus di buat merasa bersalah dulu agar tidak terus-terusan bertanya ini itu.

Bukan bermaksud durhaka atau apa, Bian hanya belum siap mengakui dosanya pada sang mama. Selama ini ia tidak biasa mengecewakan orang tuanya. Bisa di bilang Bian selalu membanggakan lewat akademik dan pencapaiannya selama ini. Maka dari itu Bian tidak bisa membayangkan akan sekecewa apa orang tuanya nanti ketika tahu bahwa di masa lalu Bian pernah seberengsek itu. Bian tak yakin ibunya tidak akan pingsan jika ia bilang bahwa ia telah memberikan Alin seorang cucu perempuan yang usianya saat ini sudah sembilan tahun.

“Tapi Mama kayak gak suka kalau aku pulang ke rumah,”

“Ck, mana ada! Mama senang banget malah kalau kamu pulang. Rumah jadi ramai,”

“Iya, ramai sama omelan Mama,” cibir Falysa yang baru saja turun dari lantai dua, membuat Bian sontak menoleh, sementara Alin yang juga turut melirik sang putri hanya mencebikkan bibirnya saja, sudah biasa dengan kejulidan anak perempuannya.

Love DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang