Happy Reading!!!
***
“Aku bisa titip Ashlyn sama kamu ‘kan malam ini?” dengan perasaan cemas juga sedikit takut, Zinnia menghubungi Bian ketika jam sudah menunjukan pukul sepuluh malam. Itu pun karena merasa diingatkan oleh sang mama.
“Zi, anak kamu … mana?”
Sejak itu lah Zinnia sadar belum menghubungi putrinya. Dan tanpa menjawab tanya sang mami, Zinnia membuka tas selempang yang dibawanya, mengambil ponsel dari dalamnya lalu berusaha menghidupkannya, namun tidak juga bisa. Baterai ponselnya kosong. Itu pasti karena Bian terus menghubunginya. Pikir Zinnia saat teringat ponselnya yang memang terus berbunyi ketika dirinya selesai menghubungi Bian sore tadi. Saat itu baterai ponselnya memang tinggal sedikit. Zinnia lupa mengisi daya kemarin malam, jadilah ponselnya kini dalam keadaan tidak berdaya.
Sudah menjadi kebiasaannya saat tengah panik, Zinnia menggigiti kuku jarinya dengan kepala terus bergerak gelisah. Dan sang mami yang duduk di sisinya menyadari.
“Kamu kenapa?”
Melirik, Zinnia menatap sang mami dengan sorot serba salah. Sampai akhirnya Zinnia memilih mengutarakan kegelisahannya. “Ponsel aku mati. Aku belum ngabarin Ashlyn.”
“Ashlyn?”
“Hm, anak aku,” cicit Zinnia dengan suara amat pelan.
Zinnia memang belum menceritakan tentang Ashlyn. Tadi ia hanya baru menceritakan dimana dirinya tinggal selama ini, juga kepulangannya ke kota ini. Selebihnya mereka hanya membahas mengenai keadaan sang kakek. Dan sekarang Zinnia baru sempat menghubungi Bian dengan menggunakan ponsel adiknya. Kebetulan Mario yang sempat dirinya lupakan pun sudah undur diri dari satu jam yang lalu.
“Kamu di mana? Kenapa sejak tadi sulit sekali aku hubungi?”
“Ponsel aku mati,” Zinnia menjawab pelan, tahu jelas bahwa sosok di seberang sana sedang khawatir sekaligus kesal. Terdengar dari suaranya yang dingin dan sedikit ketus.
“Lalu di mana kamu sekarang?” ulang Bian, membuat Zinnia kebingungan untuk menjawab. Pasalnya ia tidak tahu harus mengatakannya atau tidak mengenai keluarganya. Namun berbohong jelas tidak bisa Zinnia lakukan. Bian tahu dirinya sendirian sekarang. Tidak ada teman, tidak juga ada sanak saudara yang bisa di kunjungi. Jika pun beralasan kerja, Bian jelas tahu Zinnia tidak mungkin melupakan Ashlyn. Jadi dari pada urusannya nanti menjadi ribet Zinnia akhirnya memilih untuk jujur. Mengatakan kondisi sang kakek yang membuatnya harus berada di rumah sakit.
“Kamu udah baikan sama orang tua kamu?” tanya Bian dengan suara yang mulai lunak.
Kepala Zinnia menggeleng, sebelum kemudian sadar bahwa pria itu tidak dapat melihatnya, barulah Zinnia menjawab, “Belum. Papi masih belum mau bicara atau pun natap aku. Baru Mami. Itu juga belum bilang udah maafin aku,” sebab begitulah kenyataannya. Meskipun mereka telah mengobrol banyak, nyatanya sang mami belum meloloskan kata bahwa beliau memaafkan Zinnia. “Kakek masih belum bangun,” lirih Zinnia, benar-benar merasa sedih. Tapi tadi dokter sempat mengatakan bahwa itu pengaruh dari obat yang berada di dalam selang infusnya. Dokter bilang kakeknya harus istirahat.
Bian tidak mengatakan apa-apa setelah Zinnia menyelesaikan kalimatnya. Bukan tidak ingin tapi Bian juga bingung ingin memberi tanggapan apa. Semua kesalahannya. Hubungan Zinnia dengan keluarganya yang hancur karena dirinya. Dan Bian jelas tidak tahu bagaimana harus menanganinya. Bian tidak tahu bagaimana membantu Zinnia menerima maaf dari keluarganya yang telah terlanjur kecewa atas keberengsekannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Love Destiny
Ficción GeneralDiawali dengan kenikmatan, lalu berakhir dengan kekecewaan semua orang. Cinta itu kadang menyesatkan. Hadirnya bukan semata untuk memberi kebahagiaan, sebab derita pun menjadi bagian di dalamnya. Banyak hal yang Zinnia korbankan. Banyak pula penderi...