Happy Reading!!!
***
Bian benar-benar tak karuan saat mendapatkan telepon dari Zinnia. Kalimat wanita itu membuatnya tidak mengerti, tapi mendengar ada isak yang coba perempuan itu tahan sontak membuat Bian panik. Zinnia-nya menangis, dan Bian tidak tahu apa yang menjadi alasannya. Yang jelas Bian sadar bahwa Zinnia datang. Membuatnya bergegas bangkit dari kursi dan berlari keluar dari restoran meninggalkan Aruna dan juga Ashlyn yang menatap penuh keheranan.
Masih sambil menggenggam ponsel di depan telinga, Bian memanggil-manggil nama Zinnia, tapi yang terdengar hanya isak tangis tertahan wanita itu, sebelum kemudian sambungan terputus begitu saja.
Menatap sekeliling, Bian berharap benar-benar menemukan Zinnia. Tapi tidak, sekitarnya memang terlihat ramai, namun sosok Zinnia tidak ada di sekitar sana, membuat Bian kembali berlari masuk ke dalam restoran dan mengajak putrinya untuk pulang.
“Tapi Pa, bukannya Mama mau ke sini?”
Bian menggeleng. “Papa gak tahu, tapi kayaknya Mama pulang,” jawab Bian dengan kecemasan yang tidak bisa di sembunyikan sambil terus menghubungi ponsel Zinnia, berharap wanita itu meresponsnya. Namun berkalipun Bian mencoba, tanggapan itu tetap saja tidak ada.
“Kita pulang sekarang ya, Nak?” ajak Bian lagi. Kali ini dengan membantu Ashlyn turun dari kursinya. Kemudian menoleh ke samping saat teringat sosok Aruna. Tidak peduli dengan tatapan yang diberikan sang tunangan, Bian meminta maaf karena harus meninggalkan perempuan itu. “Makanannya udah aku bayar,” dan setelah mengatakan itu Bian benar-benar pergi bersama Ashlyn yang masih kebingungan.
“Papa, Mama gak jadi datang, ya?” tanya Ashlyn polos, begitu Bian sudah menyusul duduk dan langsung menyalakan mobilnya.
Melirik sang putri, Bian kemudian menjawab, “Kayaknya iya. Papa juga gak tahu. Tapi tadi Mama telepon. Bicaranya gak jelas, makanya Papa khawatir. Semoga aja Mama sekarang udah di rumah, ya?”
Namun, setibanya di rumah yang merangkap toko bunga Zinnia, Bian tidak menemukan tanda-tanda adanya Zinnia. Pintu rumahnya masih terkunci. Rolling door tokonya pun tertutup rapat, tidak terlihat ada kehidupan di sana. Menandakan bahwa Zinnia memang belum pulang ke rumah.
Lantas ke mana?
Hari sudah mulai beranjak malam. Dan Zinnia sama sekali tidak merespons panggilannya, malah operator yang kemudian menyahut, mengatakan bahwa nomor yang dituju sedang tidak aktif. Entah Zinnia sengaja mematikan ponsel atau perempuan itu kehabisan daya. Yang jelas Bian benar-benar cemas sekarang.
Kalimat Zinnia di telepon tadi kembali terngiang, membuatnya kemudian berpikir mengenai maksudnya. Tapi Bian tidak sama sekali menemukan jawabannya selain sadar bahwa Zinnia datang, tapi tidak menemuinya dan Aruna di restoran. Perempuan itu kembali pergi entah karena alasan apa. Yang jelas Bian tahu bahwa Zinnia tidak baik-baik saja saat memutuskan pergi. Atau mungkin hingga saat ini?
Lalu di mana wanita itu sekarang? Padahal Bian yakin satu-satunya tujuan Zinnia adalah toko bunga sekaligus rumahnya. Tapi Zinnia tidak ada. Langit yang perlahan menggelap membuat keadaan rumah Zinnia pun gelap. Tidak ada cahaya dari lampu-lampu yang biasa menerangi rumah itu. Membuat Bian semakin yakin bahwa memang tidak ada Zinnia di dalam.
“Astaga, Zi! Kamu di mana?” geram Bian masih dengan usahanya menghubungi Zinnia, meski operator yang terus-terusan menyahuti panggilannya. Tapi Bian tidak juga menyerah hingga kemudian Bian kembali masuk ke dalam mobilnya, melajukannya kembali ke restoran, berharap wanita itu ada di sana. Tapi seperti tadi, Zinnia tidak Bian temukan. Begitu pula di jalan sekitarnya. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Zinnia. hingga Bian tidak sadar bahwa waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Destiny
General FictionDiawali dengan kenikmatan, lalu berakhir dengan kekecewaan semua orang. Cinta itu kadang menyesatkan. Hadirnya bukan semata untuk memberi kebahagiaan, sebab derita pun menjadi bagian di dalamnya. Banyak hal yang Zinnia korbankan. Banyak pula penderi...