Happy Reading!!!
***
Seperti yang dikatakannya semalam dalam telepon, Zinnia menjemput Ashlyn ketika jam makan siang. Selesainya ia menyuapi sang kakek dan membantu pria tua itu minum obat.
Malam, ketika Zinnia akan mengecup punggung tangan kakeknya dan pamit untuk istirahat, tiba-tiba saja jemari keriput itu meremas jemarinya. Membuat Zinnia mengangkat kepalanya perlahan, dan terkejut saat mendapati mata senja sang kakek terbuka.
Air mata haru menetes begitu saja, sementara bibirnya bergetar menyebut sosok di pembaringan yang begitu dirindukannya. Namun saat itu Zinnia belum bisa melakukan apa-apa. Ketakutan mengenai sang kakek yang akan semakin drop melihat keberadaannya membuat Zinnia berniat untuk pergi sebelum sang kakek benar-benar menyadari siapa dirinya. Tapi cengkeraman yang kakeknya berikan semakin kuat meski tidak sampai menyakitinya.
“Zinnia … cucunya kakek,” ucapnya pelan dengan bibir yang sama bergetar. Dan saat itu, entah untuk keberapa kalinya Zinnia menangis. Entah sudah sebanyak apa pula air matanya ia keluarkan dalam sehari kemarin. Yang jelas tenaganya benar-benar terkuras habis oleh haru, pilu, dan juga rindu.
Namun, meskipun begitu tetap saja Zinnia tidak bisa tertidur selesainya menjawab berbagai pertanyaan mengenai dirinya selama sepuluh tahun ini, Zinnia memilih untuk tetap duduk di kursi yang berada di sisi ranjang kakeknya, menemani pria itu hingga kembali tertidur dengan tangan mereka yang terus menggenggam. Dan, kala pagi sang kakek terbangun, yang pertama kali pria itu pastikan adalah Zinnia.
“Kakek takut kalau semalam cuma mimpi.”
Itu yang dikatakannya, membuat Zinnia menarik kedua sudut bibirnya dan mengecup punggung tangan pria tua kesayangannya yang sudah tidak gagah lagi itu.
“Kakek gak lagi mimpi. Aku di sini, temani kakek,” dan ternyata air matanya belum juga mengering. Masih menghasilkan bulir-bulir hangatnya dengan lancar. Padahal Zinnia tidak ingin memperlihatkan itu kepada kakeknya. Tapi air matanya benar-benar tidak mampu Zinnia cegah. Ia menangis seraya kembali menggumamkan kata maaf. Namun kakeknya menggeleng. Beliau meminta untuk tidak membahas perihal itu lagi.
“Dengan kamu ada di sini sekarang Kakek sudah senang. Sudah cukup. Kakek tidak ingin mengungkit masa lalu lagi. Kakek memang kecewa, tapi kekecewaan itu tidak lebih berharga dari kamu. Jadi sudah, lupakan masa lalu. Kakek tahu itu pun menyiksa untuk kamu.”
Zinnia tidak bisa untuk tidak meraung, menangis hebat dalam pelukan sang kakek sebelum kemudian meminta maaf sekali lagi dan berterima kasih untuk kelapangan hati yang pria itu beri untuknya yang telah menoreh luka dan kecewa.
Sekarang perasaannya sudah sedikit lebih ringan, meskipun belum benar-benar bisa merasa lega mengingat sang ayah yang masih belum bisa memaafkannya.
Pria kesayangannya itu selalunya membuang muka atau sengaja menyibukan diri dengan tab yang tidak pernah lepas dari tangannya. Tapi tak apa, Zinnia akan terus berusaha mendapatkan maaf dari sang ayah. Masih ada waktu seumur hidup untuk Zinnia mengusahakan itu. Tapi semoga saja tidak membutuhkan waktu lama.
“Kamu gak makan, Zi?” tegur Bian ketika Zinnia hanya memesan jus nanas tanpa tambahan camilan, apalagi makanan berat seperti yang dirinya dan Ashlyn pesan.
“Aku udah makan tadi,” ibunya datang ke rumah sakit, membawa makan siang untuk sang kakek yang tidak pernah ingin memakan masakan rumah sakit, sekaligus juga membawakan untuk dirinya dan Gama yang semalaman menginap di rumah sakit. Hal yang lagi-lagi membuatnya terharu karena akhirnya setelah sepuluh tahun berlalu ia bisa kembali merasakan makanan yang dimasak oleh ibunya. Makanan yang benar-benar Zinnia rindukan walaupun itu hanya menu sederhana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Destiny
General FictionDiawali dengan kenikmatan, lalu berakhir dengan kekecewaan semua orang. Cinta itu kadang menyesatkan. Hadirnya bukan semata untuk memberi kebahagiaan, sebab derita pun menjadi bagian di dalamnya. Banyak hal yang Zinnia korbankan. Banyak pula penderi...