Happy Reading!!!
****
Bian terkejut mendapati kedatangan ibunya. Pun dengan Zinnia yang bahkan sampai refleks mendorong Bian dengan kuat, nyaris membuat pria itu jatuh andai tidak segera berpegangan pada tembok di dekatnya.
“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Alin dengan mata memicing. “Kamu tidak kerja?” lanjutnya ketika menyadari hari apa ini.
“Mama,”
“Dan siapa perempuan itu?” tunjuknya pada Zinnia yang terlihat kaku dan memucat.
“Ma—”
“Kamu selingkuh, Bi?”
Bian menggeram frustrasi mendengar tanya ibunya yang bertubu-tubi. Namun belum sempat ia menjawab apa yang ibunya tanyakan, suara teriakan Ashlyn lebih dulu terdengar, dan sosok itu berlari lalu melompat kegendongannya. Membuat Bian yang tidak dalam posisi siap, terhuyung ke belakang, namun beruntung saja ia masih bisa menjaga keseimbangannya, hingga tidak berakhir jatuh di lantai.
Dan adegan itu semakin membuat Alin melebarkan matanya. Lebih tepatnya panggilan yang bocah berseragam SD itu gunakan. Papa. Bian tahu ibunya sedang syok sekarang.
“Untung aja kita gak jatuh,” ucap Bian mendelik cemas, membuat Ashlyn tertawa dalam gendongannya. Gadis itu sepertinya belum menyadari keberadaan orang lain di sini. Atau mungkin Ashlyn tahu, tapi tidak menyadari ketegangan yang terjadi diantara tiga orang dewasa di sana. Gadis kecil kesayangan Bian itu malah justru mengutarakan rasa rindunya dengan mengecupi seluruh wajah Bian. Menghadirkan kekehan Bian, lalu membalas apa yang Ashlyn lakukan. Bian sampai melupakan sosok sang mama yang berdiri semakin kaku di sana.
“Papa kok gak mampir ke sekolah Ashlyn sih kalau mau ke sini? Tahu gitu ‘kan aku gak usah nunggu Om Rio genit-genit sama guru aku,” ucapnya dengan bibir cemberut. Membuat Bian sontak menoleh ke arah pintu di mana Mario baru saja masuk dengan keterkejutan yang tidak bisa di sembunyikan. Tapi kemudian menampilkan smirk-nya penuh arti dan melangkah santai menghampiri ibu Bian.
“Halo Tan, apa kabar?” tanyanya basa-basi, tanpa peduli pada ketegangan yang sedang terjadi.
“Baik.” hanya itu jawaban yang Alin beri. Mario tidak tersinggung, ia hanya tersenyum lalu beralih menatap Zinnia yang sudah pucat pasi, pun dengan Bian yang tak kalah tegangnya.
“Ashlyn ganti baju dulu gih, setelah itu kita makan KFC. Om Rio teraktir Ashlyn sepuasnya hari ini,” kata Mario menyadari akan adanya obrolan serius di antara tiga orang dihadapannya. Ashlyn masih terlalu kecil untuk ada di antara permasalahan orang tuanya. Jadi lebih baik Mario membawa Ashlyn pergi sampai keadaan kembali stabil.
“Sama Papa Mama juga?” bocah itu menoleh pada Mario.
“No. kita berdua aja. Papa sama Mama kamu makannya banyak, Om gak mau teraktir mereka.”
“Tapi—”
“Mau apa enggak? Kalau gak mau Om—”
“Mau-mau. Om tunggu sebentar, aku ganti baju dulu,” selanya cepat, lalu turun dari gendongan sang ayah, dan berlari menuju kamarnya. Gadis itu sampai lupa menyapa ibunya yang masih berdiri bak patung.
Mario tidak mengatakan apa-apa selain hanya memberikan tepukan di pundak Bian sebelum menyusul Ashlyn masuk, menunggu gadis itu di ruang tamu sambil memainkan ponselnya. Sementara Zinnia, Bian dan Alin masih dalam kebisuannya masing-masing.
Alin terlalu terkejut dengan apa yang disaksikannya. Sementara Bian terlalu bingung harus menjelaskan dari mana. Dan Zinnia … perasaannya tidak menentu saat ini. Kedatangan ibu Bian terlalu mengejutkan untuknya. Zinnia tidak siap.

KAMU SEDANG MEMBACA
Love Destiny
Narrativa generaleDiawali dengan kenikmatan, lalu berakhir dengan kekecewaan semua orang. Cinta itu kadang menyesatkan. Hadirnya bukan semata untuk memberi kebahagiaan, sebab derita pun menjadi bagian di dalamnya. Banyak hal yang Zinnia korbankan. Banyak pula penderi...