Love Destiny - 31

2.7K 156 14
                                    

hai guys, yuk kita nangis- nangis dulu di bab ini ...

Happy Reading!!!

***

“Papi …” lirih Zinnia memanggil di tengah usahanya menahan isakan. Matanya yang basah menatap sendu punggung tegap yang dirindukannya sebelum kemudian sosok itu berbalik dengan gerakan lambat bersama gurat kecemasan yang disembunyikan, namun seketika berubah terkejut lalu mengeras. Menunjukkan emosi yang tidak perlu di jabarkan pun Zinnia tahu karena apa. Tapi hari ini Zinnia sudah bertekad untuk siap menerima kemarahan seperti apa pun, yang terpenting ia diizinkan menengok kakeknya yang ternyata merupakan sosok di dalam ambulan tadi.

Zinnia tahu karena tadi sempat mendengar obrolan dokter dan ayahnya yang menanyakan keadaan paruh baya itu sebelumnya dan apa yang memicu kondisinya kembali drop setelah kemarin baik-baik saja.

Dari penjelasan ayahnya, Zinnia akhirnya tahu. Dan tanpa keluarganya yang ikut ke rumah sakit sadari, Zinnia mengekor dari belakang. Mendengarkan semuanya dengan tangis kesedihan sekaligus penyesalan. Sampai ketika dokter masuk ke dalam ruangan di mana sang kakek berada, Zinnia memperhatikan satu per satu keluarganya yang terlihat begitu cemas hingga tidak juga ada yang menyadari keberadaannya. Membuat Zinnia akhirnya memberanikan diri untuk menyapa.

Awalnya Zinnia tidak berpikir sang ayah akan menoleh, tapi melihat pria itu berbalik setelah panggilannya, ada sesuatu yang membuncah yang membuat air matanya semakin deras berjatuhan. Inginnya Zinnia langsung berhambur memeluk sosok yang telah lama ditinggalkan, tapi Zinnia tidak cukup memiliki keberanian. Ia masih teramat ingat bagaimana murka ayahnya saat tahu dirinya hamil di luar nikah, di saat usianya bahkan masih cukup belia.

Sosok yang selalunya memberi pelukan hangat dan senyum menenangkan itu untuk pertama kalinya meluapkan kemarahannya, menunjukkan kekecewaannya, dan tak segan-segan pria yang kini terlihat tak muda lagi itu mengusirnya dari rumah. Tidak peduli pada tangisannya, tidak peduli dengan permohonannya. Pria yang selama ini Zinnia panggil papi itu tidak sama sekali menunjukkan rasa iba sekalipun Zinnia bersujud di hadapannya.

Zinnia ingat betapa merah dan kerasnya wajah sang ayah. Zinnia tidak lupa bagaimana pria itu memalingkan muka dengan raut kemarahannya. Matanya yang selalu memancar hangat penuh cinta, saat itu berubah menjadi kecewa. Dan semua itu berhasil membuat siksaan disepanjang sepuluh tahun ini. Kemarahan ayahnya, kekecewaan keluarganya selalu berhasil membuat Zinnia meneteskan air mata setiap kali mengingatnya. Zinnia menyesal. Ia menyesal telah membuat keluarganya kecewa. Zinnia menyesal telah membuat ayahnya murka.

Sejujurnya Zinnia malu menampakan diri di depan mereka semua. Tapi saat ini Zinnia berusaha menebalkan muka. Bukan untuk berlaku tak tahu malu, tapi karena ia bersedih dengan kesehatan sang kakek yang begitu dirinya cinta. Dan Zinnia berharap diizinkan untuk menemui pria tua itu. Zinnia ingin meminta maaf. Bukan hanya pada kakeknya, tapi juga pada semua anggota keluarganya. Tidak apa tidak di terima lagi di keluarganya. Maaf mereka cukup. Zinnia tidak ingin tidak tahu diri dengan mengharap bisa kembali menjadi bagian di dalam keluarganya setelah kecewa ia torehkan pada mereka.

“Papi,” lagi, Zinnia sebut nama itu dengan suara lirih dan tangis pilunya. Bukan untuk meminta belaskasihan, tapi karena Zinnia benar-benar menyesal, juga karena ia begitu merindukan pria gagah di depannya.

“Zizi?” panggilan bernada tak percaya itu bukan berasal dari ayahnya, tapi dari sosok yang baru saja mendekat. Sosok cantik yang tak kalah Zinnia rindukan. Bahkan saking rindunya, Zinnia kini tidak lagi mampu menahan diri untuk tetap diam. Zinnia berlutut, memeluk kaki sosok di depannya.

“Maaf,” ucapnya di tengah tangis penyesalan yang kali ini benar-benar diluapkan. “Maaf,” ulangnya bersama isak yang menyesakkan. “Maaf,” lirihnya menyakitkan. “Maaf …” lagi kata itu disenandungkan dengan penyesalan yang tak berkurang. “Maafin Zizi, Mi, Pi, maafin Zizi,” dan kini isakan lain terdengar, menambah pilu keadaan. Beruntunglah tidak ada orang lain di sana selain Mario dan adik Zinnia yang berkali-kali memalingkan muka, menghindari pemandangan memilukan yang menyesakan untuknya.

Love DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang